Kekasih dari Semesta

00.32 Unknown 0 Comments


Bahasa semesta, aku meyakini semesta selalu berbicara, bercerita, bahkan bernyanyi dengan bahasanya sendiri. Sengaja ku hanyutkan diriku dalam bisingnya suara kehidupan, disini aku berjalan mengamati warna warni tingkah sosial manusia. Tawa mereka, lengkingan teriakan mereka yang beradu dengan desingan suara mesin kendaraan bermotor. Ini tak menggangguku, aku sangat menikmati bisingnya suara kehidupan, dimanapun itu. Perkotaan ataupun pedesaan semua sama sama ingin didengar. Aku berhenti di bawah pohon rindang di tengah taman kota, hanyut dalam diamku. Beginilah caraku mendengarkan bahasa semesta, mencoba menafsirkannya, menikmati nyanyiannya. Meski aku tak mengerti apa yang ingin disampaikannya, namun aku yakin semesta selalu tahu aku selalu ada memperhatikannya. Mencoba bercengkrama dengannya. Seringkali mereka yang mengenalku tak percaya aku bukanlah seorang ekstrovert melainkan seorang ambivert, itulah istilah yang dijelaskan temanku seorang mahasiswa psikologi mengenai diriku. Sebagian besar dari mereka yang mengenalku menilai aku sebagai makhluk yang sangat suka keramaian, suka bersosialisasi dan berkumpul dengan banyak orang dan membicarakan banyak hal. Memang benar, aku seperti itu tapi ada saatnya aku hanya ingin sendiri. Seperti seharian ini, aku sangat malas mengaktifkan smartphone. Aku ingin bersantai sejenak dari aktivitasku yang begitu padat, begitulah mereka menyebutnya untuk mencibirku agar aku merasa bersalah karena terlalu sibuk dan tak punya banyak waktu untuk mereka. Tapi keegoisan ini segera berakhir, tak jauh dari pohon tempatku bernaung salah satu sahabatku berjalan menghampiriku. Selama ini ia selalu bisa menemukanku. "Udah selesai motretnya? Liat dong," tanpa menunggu basa basiku dipungutnya kamera yang ada dipangkuanku. "Darimana sih? Kok bisa ketemu disini?" Aku heran dengan kemunculannya seolah olah kami sudah membuat janji untuk bertemu disini. "Lah aku kan tiap pulang kerja lewat jalan ini, tadi pas banget ngeliat kamu. Langsung mampir deh," Ku pandangi wajah sahabatku yang satu ini, aku sadar belakangan ini aku mencoba menghindarinya. Padahal biasanya kami mencuri curi waktu di tengah kesibukan kami tiap harinya untuk saling bertemu bersama sahabatku yang lainnya. Karena bersama mereka sudah seperti pulang ke rumah untuk beristirahat. Aku merindukannya, tawanya, cerita ceritanya tapi tidak lelucon konyol perjodohannya. Aku merasa heran dalam bulan terakhir ini mereka selalu berupaya menjodohkanku dengan bermacam macam kriteria laki laki. Berulang kali aku menjelaskan aku belum membutuhkan sosok kekasih lagi, aku mengerti mereka hanyalah ingin aku bahagia. Tapi bahagia tidak harus punya kekasih. Bertahun tahun aku tak punya kekasih bukan berati aku manusia yang sangat mencintai dirinya sendiri, itu istilah dari mereka ketika aku menolak calon calon jodoh yang mereka tawarkan, tapi aku hanya merasa ini belum saatnya. Aku selalu membayangkan kebebasan yang terenggut oleh komitmen sepasang kekasih setiap melihat laki laki yang bermaksud mendekatiku. Sederhana kesimpulannya, aku belum jatuh cinta. Karena menurutku cinta artinya rela. Rela waktunya terbuang bersama kekasih, rela uangnya dipakai untuk kencan, rela dan rela segalanya. Dan sekarang aku belum memiliki kerelaan itu. Kami beranjak dari taman untuk pergi mencari makan, dulu aku tak masalah jika sahabatku mengajak bergabung dengan teman temannya yang lain. Menurutku itu menyenangkan, itulah salah satu alasan kenapa mereka menyebutku ekstrovert. Tapi tidak untuk sekarang, aku waspada jika ini hanyalah triknya untuk menjodohkan aku lagi. Benar saja dugaanku, di tengah kami sedang makan ia selalu bercerita tentang temannya yang akan menyusul kami kesini. Aku sudah hapal jurusnya ini, dia laki laki baik lah, tampan lah, keren lah, mapan lah dan banyak lagi kata kata pujian terlahir dari mulut manis sahabatku satu ini. "Pdkt aja dulu, siapa tau yang ini cocok! Biar kamu gak bakal jadi obat nyamuk lagi kalo kita kita ngumpul bawa pacar masing masing" "Aku lagi males banget pdkt. Aku mau nyari cowok yang mau langsung pacaran sama aku aja," aku tertawa terbahak bahak setelah menanggapi leluconnya. " Aku mau kok langsung pacaran ! Gimana?" Aku langsung menoleh ke arah suara yang menyahut perkataanku. Sahabatku langsung menyuruhnya duduk di hadapan kami. Itulah temannya yang ingin diperkenalkan denganku. Aku menyambut jabatan tangannya. "Jadi sekarang kita pacaran kan?" Aku terpaku bukan karena pertanyaannya barusan ataupun karena terpana melihat wajahnya yang tampan. Aku masih menjabat tangannya bahkan aku tak mendengar suara di sekitarku lagi. Aku hanyut dalam penghilatanku. Bukan sosoknya yang sekarang, ini terlihat seperti ingatan dalam kenangan. Aku tidak mengerti ini, aku melihat dia tertawa kepadaku. Tawa yang selalu ingin ku lihat. Apakah aku sedang menonton drama yang ku perankan sendiri bersamanya, aku melihat kami berdua sedang tertawa dengan memakai pakaian seperti di kisah kisah kolosal. Aku juga melihat ia menggandengku di tengah acara, seperti pesta di zaman ratusan tahun sebelum ini. Aku melihat nuansa klasik di pesta itu. Gambaran aku menangisi tubuhnya yang berlumuran darah di tengah hutan membuatku meneteskan air mata. Rasanya kesedihan ini tak asing bagiku. Aku tidak percaya istilah reinkarnasi, aku juga tidak mengerti apa itu belahan jiwa. Namun saat ini sebelum aku tahu namanya bahkan mungkin sebelum aku terlahir di dunia ini aku sudah sepakat dia lah kekasihku. Iqy 20/2/2016

0 komentar: