Balasan Manis
Hujan saat jalan jalan tidak mengurangi rasa sukaku dengan kota ini. Aku bergegas berteduh di bawah tenda penjual bunga, masih di wilayah strøget, syukur sekali penjualnya sangat ramah. Tak ingin bawaanku basah terkena hujan, aku baru saja mencetak foto foto yang ku abadikan selama di kota ini. Hari ini hari terakhirku, aku harus pulang. Saatnya menghadapi kenyataan di kampung halamanku. Rasanya seperti dunia ini akan berakhir saja.
Aku merapatkan jaketku demi mengurangi rasa dingin yang menembus kulit. Aku harus menikmatinya, masa kebebasanku akan berakhir. Ku pandangi di sekelilingku. Kota ini indah, tak inginku pulang. Pandanganku tertahan ke arah pinggiran toko yang tak jauh dariku. Wanita tua terlihat sibuk membetulkan payungnya yang rusak saat dibuka. Bajunya mulai basah terkena hujan. Tapi kesibukannya terhenti oleh pria yang baru saja menghampirinya. Pria itu memberikannya payung. Tak terdengar apa yang mereka bincangkan tapi sepertinya wanita itu sangat senang dan berpamitan meninggalkan pria yang memberikannya payung tadi. Wah ini seperti gerhana matahari, langka terjadi pikirku. Aku masih memperhatikan ke arah yang tadi. Ku lihat pria itu bergegas mencari tempat berteduh. Sepertinya akan menuju ke arahku. Ada seekor kucing di dalam keranjang yang dibawanya.
Aku sedikit bergeser untuk memberikannya tempat berteduh. Dia tersenyum ringan kepadaku. Aku kembali menikmati pemandangan kota diguyur hujan. Semoga hujan cepat reda. Suara kucing yang dibawa pria tadi membuatku memperhatikannya.
"Sepertinya dia lapar." Gumanku pelan tak bermaksud mengajak pria itu berbicara.
"Ah, benarkah?" Pria itu langsung mengangkat keranjang kucingnya seperti memastikan dan merogoh saku jaketnya. Biskuit kucing. Aku bukan terkesima karena kecepatannya membuka bungkus biskuit dan langsung memberikannya kepada kucingnya, memang sangat tanggap. Tapi, tadi dia berbicara dengan bahasaku.
"Indonesia ?"tiba tiba saja aku bertanya, tanpa sadar.
"Ya, dan kamu bisa mengerti bahasa kucing." Pria itu menolehku sekilas sambil tertawa lalu kembali memperhatikan kucingnya.
Aku tak bisa menahan tawaku. Pria itu kembali melihatku.
"Ini kucing tetanggaku, tadi aku membawanya ke klinik untuk mengobati luka di kakinya. Tetanggaku memberikan ini sebelum aku berangkat, tapi aku tidak tahu kapan harus memberikan kepada kucing kecil ini," pria itu menunjukan bungkus biskuit yang isinya telah habis kepadaku.
"Terimakasih," lanjutnya.
Aku mengangguk lalu memperhatikan kucingnya, aku melihat perban di kaki kucing itu.
"Kakinya patah?" aku bertanya basa basi.
"Ya, kamu sangat hebat langsung tahu saat pertama melihat." Pria itu berdecak kagum.
"Aku dokter hewan." Tanpa sedikitpun ingin menyombongkan diri aku memberitahukan profesiku kepadanya.
"Oh, benarkah?" Aku mengangguk mengiyakan, aku melihat sekitar nampaknya hujan tak kunjung reda. Untung saja ada teman mengobrol. Hawa dingin menjadi terabaikan.
"Dimana tempatmu praktek ?" Tanyanya lagi basa basi.
"Aku hanya turis beberapa hari disini, aku bekerja untuk International Primate Protection League." Aku melihat keterkejutan pria itu. Kami kembali berbincang sampai akhirnya kucing yang dibawanya kembali mengeong.
"Apakah dia lapar lagi? Aku bahkan tidak memiliki biskuit tersisa, seharusnya aku cepat pulang." pria itu berusaha menenangkan kucingnya.
"Seandainya kamu tadi tidak memberikan payungmu, kamu tidak akan terjebak disini." dengan menyesal aku telah mengeluarkan kata kata itu. Seharusnya aku tidak mengatakannya. Entah apa yang dipikirkan pria itu tentangku. Namun pria itu tersenyum kepadaku.
"Aku tidak pernah menyesal setelah memberikan payung kepada nenek tadi." Ungkapnya. Aku semakin merasa tidak enak telah mengatakannya.
"Ah, ya. Aku hanya," aku bingung harus berkata apa. Sangat canggung rasanya.
"Tak apa, kamu lucu sekali." Pria itu tertawa seolah ingin menghilangkan rasa canggungku.
"Kamu baik sekali masih bisa mementingkan kepentingan orang lain daripada dirimu sendiri." Aku tulus mengucapkannya. Pria itu menoleh ke arahku. Wajahnya selalu menampakan raut yang tenang.
"Benda yang sangat sayang untuk kau berikan adalah hadiah terbaik menurutku. Kamu muslim?"
Aku mengangguk, pria itu kembali melanjutkan berbicara. "Sebenarnya ini berlaku untuk siapapun, bahkan atheis. Hukum alam. Berbagilah jika ingin harapanmu terkabul. Berbagilah jika ingin kaya, kau beri 1 maka kau mendapat berkali lipat. Aku percaya itu." Dia kembali memandangku. "Mungkin kamu menganggapku aneh, tapi setiap aku berdoa menginginkan sesuatu aku bersedekah. Dan itu bekerja. Aku mendapatkannya. Memang seperti itu aturannya." Aku mengangguk dan mencoba mengerti.
Tak terasa kami sudah berbincang lama. Hujan sudah reda. Kami berpisah, aku kembali melanjutkan perjalananku. Aku kembali ke kenyataanku. Aku harus pulang ke Indonesia. Rasa pahit ini kembali terasa. Rasa takut ini kembali datang. Sejenak ternyata aku bisa melupakannya.
Hujan turun mempertemukanku dengan pria tadi, bahkan aku tidak tahu namanya tapi dia berhasil mengalihkan perhatianku dari kenyataan yang akhir akhir ini membuat aku uring uringan.
Sesampai di hostel aku langsung berkemas, besok pagi pagi sekali aku harus sudah di bandara. Malam ini aku berencana berjalan menyusuri menikmati malam terakhirku di Copenhagen. Aku teringat dengan amplop foto yang baru ku cetak tadi siang. Sama sekali belum ku buka.
Aku keluarkan semua isi foto di dalamnya. Ku perhatikan satu persatu. Aku sangat suka street fotografi. Foto foto ini oleh oleh perjalananku selama disini.
Aku terdiam mengamati salah satu foto yang telah ku ambil. Sangat mengejutkan. Pria tadi siang. Ya, dia ada di dalam frame ini. Aku mencoba mengingat saat di taman Radlum Pladsen melihat seorang pria memberi makan kepada burung burung merpati dan aku mengabadikannya. Tak sadar aku tersenyum sendiri.
Aku teringat kata kata pria tadi, tak ada kebetulannya menurutnya. Semesta bekerja sesuai aturannya. Itu artinya ini juga bukan kebetulan. Aku senang berbincang dengannya. Pria itu menarik. Cara dia berpikir dan hidup sangat menarik. Aku tersadar dari pikiranku tentang pria itu, smartphoneku berbunyi. "Assalamualaikum bu, ya besok pagi aku pulang. Ya terserah ibu saja, aku akan mengikuti semua yang diharuskan oleh adat. Aku juga rindu ayah ibu. Waalaikumsalam." Lagi lagi aku menghembuskan nafas yang berat. Ibuku terdengar sangat senang tadi ditelpon. Rupanya persiapan pertunanganku sudah beres. Harapan keluarga besarku akan terlaksana dan aku disini tak memiliki harapan apa apa. Semua terasa begitu cepat terjadi. Bahkan sebelum aku mengerti semua dengan kejadian yang menimpa hidupku. Rasanya baru saja aku diizinkan pergi ke US untuk bergabung di IPPL, ternyata sudah tiga tahun terlewat. Aku memiliki kekasih, satu tahun terakhir aku habiskan untuk mencintainya dan rasanya baru kemarin aku melihatnya mengkhianatiku. Ternyata sudah satu bulan terlewat. Kabar aku dipindahkan ke kota asalku pun ikut menamparku dua minggu yang lalu, rasanya seperti baru kemarin aku mendengarnya. Bukan karena aku tak mencintai kampung halamanku, aku pun ingin pulang. Rindu dengan Indonesia. Tapi apa daya, keluarga besarku adalah suku melayu yang masih menjunjung tinggi adat. Bagi mereka umurku yang sudah 26 tahun ini harus segera menikah. Awalnya aku tak masalah jika tahun ini menikah, karena aku sudah memiliki seorang kekasih yang sangat ku cintai. Dan dua minggu yang lalu aku dikabarkan akan pindah. Mau tidak mau aku akan pulang. Didesak menikah dengan berat hati aku mengakui kalau aku tak lagi memiliki kekasih. Ku kira akan memiliki waktu untuk bernafas lega dari desakan pernikahan. Ternyata dengan secepat kilat keluargaku mempersiapkan perjodohanku entah dengan anak siapa yang hanya ku tahu ini wajib. Aku tak boleh menolak. Aku hanya harus pulang dan menikah, bahkan sebelum aku mencerna semua kejadian ini. Setidaknya aku melakukan ini karena aku sangat menyayangi keluargaku.
Sebelum aku kembali ke Indonesia aku menyempatkan ke kota ini. Menikmati sisa sisa masa lajangku.
Aku kembali teringat dengan pria tadi siang. Aku ingin bertemu dengannya. Aku berharap bisa bertemu lagi untuk terakhir kalinya. Entahlah perasaan apa ini. Mungkin ini yang dialami orang orang yang putus asa pikirku. Keanehan.
Ku lihat jam dinding di kamar hostel, semua sudah siap. Aku akan jalan jalan sebentar menikmati kota ini dan berharap bertemu pria tadi siang.
Sleep in heaven, hostel yang aku tempati, berdekatan dengan kafe kafe yang ramai dikunjungi anak muda setempat. Berjalan menyusuri malam yang masih terang, aku kembali terpikir dengan pria tadi siang. Aku teringat kata katanya. Baiklah, akan aku coba. Aku berharap bertemu dengannya lagi, itu artinya aku harus "berbagi" agar tuhan mengabulkannya.
Aku terus berjalan sambil tersipu dengan tingkahku sendiri. Pertama memang sulit mencari orang yang akan ku bantu. Saat aku memasuki salah satu toko aku mendadak ingin membukakan pintu untuk wanita yang ingin masuk berbarengan denganku. Sangat mendadak. Aku melihat ekspresi keterkejutan wanita tadi. Aku berusaha tersenyum tulus kepadanya. Ini lucu, tapi menarik. Aku juga memberikan permen kepada anak kecil yang bertemu denganku saat di term.
Kakiku sudah mulai lelah, hari sudah larut saat aku kembali ke hostel. Pemula tidak gampang pikirku. Mungkin lain kali tuhan akan mengabulkannya. Wah, aku mulai percaya lagi dengan harapan dan berharap besok adalah hari baik untukku.
Berjam jam tidur di pesawat akhirnya aku sampai di kampung halaman, aku memilih tidak dijemput di bandara. Aku pulang ke rumah naik taksi. Sepanjang perjalanan aku merasa gugup. Malam ini pertunanganku. Aku menghirup nafas panjang untuk menenangkan diriku sendiri. Ini bukan akhir hidup pikirku, aku harus ceria. Ini awal yang baru. Taksi berhenti di depan rumahku yang sudah mulai ramai terparkir mobil di depannya. Pasti keluarga besarku sudah berkumpul. Aku bisa membayangkan betapa sibuknya mereka mempersiapkan pertunangan cucu terakhir di keluarga kami, apalagi aku satu satunya cucu perempuan. "Mbak, kopernya sudah saya keluarkan dari bagasi. Apa perlu saya antar ke dalam?" sopir taksi menyadarkanku yang dari tadi hanya memandangi ke arah rumah.
"Ah, iya pak terimakasih biar saya yang bawa. Berapa pak?" Aku melihat ke arah argo sambil mengeluarkan uang dari dompet. Lagi lagi aku teringat kata kata pria yang ku temui di Copenhagen. Memberi jika ingin diberi. Aku ingin tuhan memberikan aku kehidupan yang indah. Bukan perjodohan mengerikan yang selama ini menghantuiku. Ku serahkan lembaran uang kertas dua kali lipat nominalnya dari argo yang harus ku bayar untuk sopir taksi.
"Sisanya untuk bapak. Oh iya malam ini saya tunangan pak, doakan ya calonnya ganteng." aku terkekeh kepada sopir taksi. Kali ini aku merasa seperti mendapat energi tambahan, aku siap masuk ke dalam rumah.
Pulang kampung memang menyenangkan. Aku kebanjiran kata rindu dari keluargaku. Mereka sangat antusias membantuku bersiap. Waktu berlalu cepat. Menit menit terakhir rasanya membuatku sangat gugup. Aku mencoba tetap terlihat tenang. Kak Dian, salah satu kakak iparku, memastikan dandananku sebelum aku dipanggil keluar kamar. Dia terlihat lebih gugup daripada aku.
"Keluarga Panji sudah datang dik," kak Dian merapikan rambutku yang sebenarnya sudah rapi.
"Namanya Panji ya," aku berguman pelan.
"Iya, nanti kalau Tara ngeliat pasti suka. Panji ganteng banget dik. Dari keluarga baik baik juga. Tara jangan khawarir pokoknya."
Aku tersenyum mendengarnya. Aku harus siap memulai awal hidupku dengan, yang kata kak Dian, si ganteng dari keluarga baik baik.
Perlahan aku melangkah menuju ruang berkumpul keluargaku menyambut keluarga calon tunanganku.
Aku terperangah tak percaya. Sampai akhirnya aku diberi kesempatan duduk disamping tunanganku.
"Tara, si dokter hewan." Bisik pria disampingku yang sekarang sudah menjadi tunanganku.
"Ini nyata?" Aku mencoba berbisik sepelan mungkin agar tidak ketahuan.
"Kau tahu seberapa sering aku bersedekah agar kita bisa bertemu lagi?" Kata pria itu sambil berpaling memandangku. Kata katanya membuatku terkejut. Aku tak menyangka ternyata dia juga berharap bertemu denganku lagi.
Ini menakjubkan. Aku benar benar terkesima dengan rencana tuhan.
"Terimakasih sudah berusaha bertemu denganku, lagi." Aku memberikan senyum terbaikku kepada Panji, tunanganku si pria di Copenhagen.
0 komentar: