Balasan Manis

00.42 Unknown 0 Comments

 Hujan saat jalan jalan tidak mengurangi rasa sukaku dengan kota ini. Aku bergegas berteduh di bawah tenda penjual bunga, masih di wilayah strøget, syukur sekali penjualnya sangat ramah. Tak ingin bawaanku basah terkena hujan, aku baru saja mencetak foto foto yang ku abadikan selama di kota ini. Hari ini hari terakhirku, aku harus pulang. Saatnya menghadapi kenyataan di kampung halamanku. Rasanya seperti dunia ini akan berakhir saja.
Aku merapatkan jaketku demi mengurangi rasa dingin yang menembus kulit. Aku harus menikmatinya, masa kebebasanku akan berakhir. Ku pandangi di sekelilingku. Kota ini indah, tak inginku pulang. Pandanganku tertahan ke arah pinggiran toko yang tak jauh dariku. Wanita tua terlihat sibuk membetulkan payungnya yang rusak saat dibuka. Bajunya mulai basah terkena hujan. Tapi kesibukannya terhenti oleh pria yang baru saja menghampirinya. Pria itu memberikannya payung. Tak terdengar apa yang mereka bincangkan tapi sepertinya wanita itu sangat senang dan berpamitan meninggalkan pria yang memberikannya payung tadi. Wah ini seperti gerhana matahari, langka terjadi pikirku. Aku masih memperhatikan ke arah yang tadi. Ku lihat pria itu bergegas mencari tempat berteduh. Sepertinya akan menuju ke arahku. Ada seekor kucing di dalam keranjang yang dibawanya.
Aku sedikit bergeser untuk memberikannya tempat berteduh. Dia tersenyum ringan kepadaku. Aku kembali menikmati pemandangan kota diguyur hujan. Semoga hujan cepat reda. Suara kucing yang dibawa pria tadi membuatku memperhatikannya.
"Sepertinya dia lapar." Gumanku pelan tak bermaksud mengajak pria itu berbicara.
"Ah, benarkah?" Pria itu langsung mengangkat keranjang kucingnya seperti memastikan dan merogoh saku jaketnya. Biskuit kucing. Aku bukan terkesima karena kecepatannya membuka bungkus biskuit dan langsung memberikannya kepada kucingnya, memang sangat tanggap. Tapi, tadi dia berbicara dengan bahasaku. 
"Indonesia ?"tiba tiba saja aku bertanya, tanpa sadar.
"Ya, dan kamu bisa mengerti bahasa kucing." Pria itu menolehku sekilas sambil tertawa lalu kembali memperhatikan kucingnya.
Aku tak bisa menahan tawaku. Pria itu kembali melihatku.
"Ini kucing tetanggaku, tadi aku membawanya ke klinik untuk mengobati luka di kakinya. Tetanggaku memberikan ini sebelum aku berangkat, tapi aku tidak tahu kapan harus memberikan kepada kucing kecil ini," pria itu menunjukan bungkus biskuit yang isinya telah habis kepadaku.
"Terimakasih," lanjutnya.
Aku mengangguk lalu memperhatikan kucingnya, aku melihat perban di kaki kucing itu. 
"Kakinya patah?" aku bertanya basa basi.
"Ya, kamu sangat hebat langsung tahu saat pertama melihat." Pria itu berdecak kagum.
"Aku dokter hewan." Tanpa sedikitpun ingin menyombongkan diri aku memberitahukan profesiku kepadanya.
"Oh, benarkah?" Aku mengangguk mengiyakan, aku melihat sekitar nampaknya hujan tak kunjung reda. Untung saja ada teman mengobrol. Hawa dingin menjadi terabaikan.
"Dimana tempatmu praktek ?" Tanyanya lagi basa basi.
"Aku hanya turis beberapa hari disini, aku bekerja untuk International Primate Protection League." Aku melihat keterkejutan pria itu. Kami kembali berbincang sampai akhirnya kucing yang dibawanya kembali mengeong.
"Apakah dia lapar lagi? Aku bahkan tidak memiliki biskuit tersisa, seharusnya aku cepat pulang." pria itu berusaha menenangkan kucingnya.
"Seandainya kamu tadi tidak memberikan payungmu, kamu tidak akan terjebak disini." dengan menyesal aku telah mengeluarkan kata kata itu. Seharusnya aku tidak mengatakannya. Entah apa yang dipikirkan pria itu tentangku. Namun pria itu tersenyum kepadaku.
"Aku tidak pernah menyesal setelah memberikan payung kepada nenek tadi." Ungkapnya. Aku semakin merasa tidak enak telah mengatakannya. 
"Ah, ya. Aku hanya," aku bingung harus berkata apa. Sangat canggung rasanya.
"Tak apa, kamu lucu sekali." Pria itu tertawa seolah ingin menghilangkan rasa canggungku.
"Kamu baik sekali masih bisa mementingkan kepentingan orang lain daripada dirimu sendiri." Aku tulus mengucapkannya. Pria itu menoleh ke arahku. Wajahnya selalu menampakan raut yang tenang.
"Benda yang sangat sayang untuk kau berikan adalah hadiah terbaik menurutku. Kamu muslim?"
Aku mengangguk, pria itu kembali melanjutkan berbicara. "Sebenarnya ini berlaku untuk siapapun, bahkan atheis. Hukum alam. Berbagilah jika ingin harapanmu terkabul. Berbagilah jika ingin kaya, kau beri 1 maka kau mendapat berkali lipat. Aku percaya itu." Dia kembali memandangku. "Mungkin kamu menganggapku aneh, tapi setiap aku berdoa menginginkan sesuatu aku bersedekah. Dan itu bekerja. Aku mendapatkannya. Memang seperti itu aturannya." Aku mengangguk dan mencoba mengerti. 
Tak terasa kami sudah berbincang lama. Hujan sudah reda. Kami berpisah, aku kembali melanjutkan perjalananku. Aku kembali ke kenyataanku. Aku harus pulang ke Indonesia. Rasa pahit ini kembali terasa. Rasa takut ini kembali datang. Sejenak ternyata aku bisa melupakannya. 
Hujan turun mempertemukanku dengan pria tadi, bahkan aku tidak tahu namanya tapi dia berhasil mengalihkan perhatianku dari kenyataan yang akhir akhir ini membuat aku uring uringan. 
Sesampai di hostel aku langsung berkemas, besok pagi pagi sekali aku harus sudah di bandara. Malam ini aku berencana berjalan menyusuri menikmati malam terakhirku di Copenhagen. Aku teringat dengan amplop foto yang baru ku cetak tadi siang. Sama sekali belum ku buka. 
Aku keluarkan semua isi foto di dalamnya. Ku perhatikan satu persatu. Aku sangat suka street fotografi. Foto foto ini oleh oleh perjalananku selama disini. 
Aku terdiam mengamati salah satu foto yang telah ku ambil. Sangat mengejutkan. Pria tadi siang. Ya, dia  ada di dalam frame ini. Aku mencoba mengingat saat di taman Radlum Pladsen melihat seorang pria memberi makan kepada burung burung merpati dan aku mengabadikannya. Tak sadar aku tersenyum sendiri.
Aku teringat kata kata pria tadi, tak ada kebetulannya menurutnya. Semesta bekerja sesuai aturannya. Itu artinya ini juga bukan kebetulan. Aku senang berbincang dengannya. Pria itu menarik. Cara dia berpikir dan hidup sangat menarik. Aku tersadar dari pikiranku tentang pria itu, smartphoneku berbunyi. "Assalamualaikum bu, ya besok pagi aku pulang. Ya terserah ibu saja, aku akan mengikuti semua yang diharuskan oleh adat. Aku juga rindu ayah ibu. Waalaikumsalam." Lagi lagi aku menghembuskan nafas yang berat. Ibuku terdengar sangat senang tadi ditelpon. Rupanya persiapan pertunanganku sudah beres. Harapan keluarga besarku akan terlaksana dan aku disini tak memiliki harapan apa apa. Semua terasa begitu cepat terjadi. Bahkan sebelum aku mengerti semua dengan kejadian yang menimpa hidupku. Rasanya baru saja aku diizinkan pergi ke US untuk bergabung di IPPL, ternyata sudah tiga tahun terlewat. Aku memiliki kekasih, satu tahun terakhir aku habiskan untuk mencintainya dan rasanya baru kemarin aku melihatnya mengkhianatiku. Ternyata sudah satu bulan terlewat. Kabar aku dipindahkan ke kota asalku pun ikut menamparku dua minggu yang lalu, rasanya seperti baru kemarin aku mendengarnya. Bukan karena aku tak mencintai kampung halamanku, aku pun ingin pulang. Rindu dengan Indonesia. Tapi apa daya, keluarga besarku adalah suku melayu yang masih menjunjung tinggi adat. Bagi mereka umurku yang sudah 26 tahun ini harus segera menikah. Awalnya aku tak masalah jika tahun ini menikah, karena aku sudah memiliki seorang kekasih yang sangat ku cintai. Dan dua minggu yang lalu aku dikabarkan akan pindah. Mau tidak mau aku akan pulang. Didesak menikah dengan berat hati aku mengakui kalau aku tak lagi memiliki kekasih. Ku kira akan memiliki waktu untuk bernafas lega dari desakan pernikahan. Ternyata dengan secepat kilat keluargaku mempersiapkan perjodohanku entah dengan anak siapa yang hanya ku tahu ini wajib. Aku tak boleh menolak. Aku hanya harus pulang dan menikah, bahkan sebelum aku mencerna semua kejadian ini. Setidaknya aku melakukan ini karena aku sangat menyayangi keluargaku. 
Sebelum aku kembali ke Indonesia aku menyempatkan ke kota ini. Menikmati sisa sisa masa lajangku.
Aku kembali teringat dengan pria tadi siang. Aku ingin bertemu dengannya. Aku berharap bisa bertemu lagi untuk terakhir kalinya. Entahlah perasaan apa ini. Mungkin ini yang dialami orang orang yang putus asa pikirku. Keanehan. 
Ku lihat jam dinding di kamar hostel, semua sudah siap. Aku akan jalan jalan sebentar menikmati kota ini dan berharap bertemu pria tadi siang. 
Sleep in heaven, hostel yang aku tempati, berdekatan dengan kafe  kafe yang ramai dikunjungi anak muda setempat. Berjalan menyusuri malam yang masih terang, aku kembali terpikir dengan pria tadi siang. Aku teringat kata katanya. Baiklah, akan aku coba. Aku berharap bertemu dengannya lagi, itu artinya aku harus "berbagi" agar tuhan mengabulkannya.
Aku terus berjalan sambil tersipu dengan tingkahku sendiri. Pertama memang sulit mencari orang yang akan ku bantu. Saat aku memasuki salah satu toko aku mendadak ingin membukakan pintu untuk wanita yang ingin masuk berbarengan denganku. Sangat mendadak. Aku melihat ekspresi keterkejutan wanita tadi. Aku berusaha tersenyum tulus kepadanya. Ini lucu, tapi menarik. Aku juga memberikan permen kepada anak kecil yang bertemu denganku saat di term. 
Kakiku sudah mulai lelah, hari sudah larut saat aku kembali ke hostel. Pemula tidak gampang pikirku. Mungkin lain kali tuhan akan mengabulkannya. Wah, aku mulai percaya lagi dengan harapan dan berharap besok adalah hari baik untukku. 
Berjam jam tidur di pesawat akhirnya aku sampai di kampung halaman, aku memilih tidak dijemput di bandara. Aku pulang ke rumah naik taksi. Sepanjang perjalanan aku merasa gugup. Malam ini pertunanganku. Aku menghirup nafas panjang untuk menenangkan diriku sendiri. Ini bukan akhir hidup pikirku, aku harus ceria. Ini awal yang baru. Taksi berhenti di depan rumahku yang sudah mulai ramai terparkir mobil di depannya. Pasti keluarga besarku sudah berkumpul. Aku bisa membayangkan betapa sibuknya mereka mempersiapkan pertunangan cucu terakhir di keluarga kami, apalagi aku satu satunya cucu perempuan. "Mbak, kopernya sudah saya keluarkan dari bagasi. Apa perlu saya antar ke dalam?" sopir taksi menyadarkanku yang dari tadi hanya memandangi ke arah rumah.
"Ah, iya pak terimakasih biar saya yang bawa. Berapa pak?" Aku melihat ke arah argo sambil mengeluarkan uang dari dompet. Lagi lagi aku teringat kata kata pria yang ku temui di Copenhagen. Memberi jika ingin diberi. Aku ingin tuhan memberikan aku kehidupan yang indah. Bukan perjodohan mengerikan yang selama ini menghantuiku. Ku serahkan lembaran uang kertas dua kali lipat nominalnya dari argo yang harus ku bayar untuk sopir taksi. 
"Sisanya untuk bapak. Oh iya malam ini saya tunangan pak, doakan ya calonnya ganteng." aku terkekeh kepada sopir taksi. Kali ini aku merasa seperti mendapat energi tambahan, aku siap masuk ke dalam rumah. 
Pulang kampung memang menyenangkan. Aku kebanjiran kata rindu dari keluargaku. Mereka sangat antusias membantuku bersiap. Waktu berlalu cepat. Menit menit terakhir rasanya membuatku sangat gugup. Aku mencoba tetap terlihat tenang. Kak Dian, salah satu kakak iparku, memastikan dandananku sebelum aku dipanggil keluar kamar. Dia terlihat lebih gugup daripada aku.
"Keluarga Panji sudah datang dik," kak Dian merapikan rambutku yang sebenarnya sudah rapi. 
"Namanya Panji ya," aku berguman pelan.
"Iya, nanti kalau Tara ngeliat pasti suka. Panji ganteng banget dik. Dari keluarga baik baik juga. Tara jangan khawarir pokoknya."
Aku tersenyum mendengarnya. Aku harus siap memulai awal hidupku dengan, yang kata kak Dian, si ganteng dari keluarga baik baik. 
Perlahan aku melangkah menuju ruang berkumpul keluargaku menyambut keluarga calon tunanganku. 
Aku terperangah tak percaya. Sampai akhirnya aku diberi kesempatan duduk disamping tunanganku.
"Tara, si dokter hewan." Bisik pria disampingku yang sekarang sudah menjadi tunanganku.
"Ini nyata?" Aku mencoba berbisik sepelan mungkin agar tidak ketahuan.
"Kau tahu seberapa sering aku bersedekah agar kita bisa bertemu lagi?" Kata pria itu sambil berpaling memandangku. Kata katanya membuatku terkejut. Aku tak menyangka ternyata dia juga berharap bertemu denganku lagi.
Ini menakjubkan. Aku benar benar terkesima dengan rencana tuhan.
"Terimakasih sudah berusaha bertemu denganku, lagi." Aku memberikan senyum terbaikku kepada Panji, tunanganku si pria di Copenhagen.

0 komentar:

Kekasih dari Semesta

00.32 Unknown 0 Comments


Bahasa semesta, aku meyakini semesta selalu berbicara, bercerita, bahkan bernyanyi dengan bahasanya sendiri. Sengaja ku hanyutkan diriku dalam bisingnya suara kehidupan, disini aku berjalan mengamati warna warni tingkah sosial manusia. Tawa mereka, lengkingan teriakan mereka yang beradu dengan desingan suara mesin kendaraan bermotor. Ini tak menggangguku, aku sangat menikmati bisingnya suara kehidupan, dimanapun itu. Perkotaan ataupun pedesaan semua sama sama ingin didengar. Aku berhenti di bawah pohon rindang di tengah taman kota, hanyut dalam diamku. Beginilah caraku mendengarkan bahasa semesta, mencoba menafsirkannya, menikmati nyanyiannya. Meski aku tak mengerti apa yang ingin disampaikannya, namun aku yakin semesta selalu tahu aku selalu ada memperhatikannya. Mencoba bercengkrama dengannya. Seringkali mereka yang mengenalku tak percaya aku bukanlah seorang ekstrovert melainkan seorang ambivert, itulah istilah yang dijelaskan temanku seorang mahasiswa psikologi mengenai diriku. Sebagian besar dari mereka yang mengenalku menilai aku sebagai makhluk yang sangat suka keramaian, suka bersosialisasi dan berkumpul dengan banyak orang dan membicarakan banyak hal. Memang benar, aku seperti itu tapi ada saatnya aku hanya ingin sendiri. Seperti seharian ini, aku sangat malas mengaktifkan smartphone. Aku ingin bersantai sejenak dari aktivitasku yang begitu padat, begitulah mereka menyebutnya untuk mencibirku agar aku merasa bersalah karena terlalu sibuk dan tak punya banyak waktu untuk mereka. Tapi keegoisan ini segera berakhir, tak jauh dari pohon tempatku bernaung salah satu sahabatku berjalan menghampiriku. Selama ini ia selalu bisa menemukanku. "Udah selesai motretnya? Liat dong," tanpa menunggu basa basiku dipungutnya kamera yang ada dipangkuanku. "Darimana sih? Kok bisa ketemu disini?" Aku heran dengan kemunculannya seolah olah kami sudah membuat janji untuk bertemu disini. "Lah aku kan tiap pulang kerja lewat jalan ini, tadi pas banget ngeliat kamu. Langsung mampir deh," Ku pandangi wajah sahabatku yang satu ini, aku sadar belakangan ini aku mencoba menghindarinya. Padahal biasanya kami mencuri curi waktu di tengah kesibukan kami tiap harinya untuk saling bertemu bersama sahabatku yang lainnya. Karena bersama mereka sudah seperti pulang ke rumah untuk beristirahat. Aku merindukannya, tawanya, cerita ceritanya tapi tidak lelucon konyol perjodohannya. Aku merasa heran dalam bulan terakhir ini mereka selalu berupaya menjodohkanku dengan bermacam macam kriteria laki laki. Berulang kali aku menjelaskan aku belum membutuhkan sosok kekasih lagi, aku mengerti mereka hanyalah ingin aku bahagia. Tapi bahagia tidak harus punya kekasih. Bertahun tahun aku tak punya kekasih bukan berati aku manusia yang sangat mencintai dirinya sendiri, itu istilah dari mereka ketika aku menolak calon calon jodoh yang mereka tawarkan, tapi aku hanya merasa ini belum saatnya. Aku selalu membayangkan kebebasan yang terenggut oleh komitmen sepasang kekasih setiap melihat laki laki yang bermaksud mendekatiku. Sederhana kesimpulannya, aku belum jatuh cinta. Karena menurutku cinta artinya rela. Rela waktunya terbuang bersama kekasih, rela uangnya dipakai untuk kencan, rela dan rela segalanya. Dan sekarang aku belum memiliki kerelaan itu. Kami beranjak dari taman untuk pergi mencari makan, dulu aku tak masalah jika sahabatku mengajak bergabung dengan teman temannya yang lain. Menurutku itu menyenangkan, itulah salah satu alasan kenapa mereka menyebutku ekstrovert. Tapi tidak untuk sekarang, aku waspada jika ini hanyalah triknya untuk menjodohkan aku lagi. Benar saja dugaanku, di tengah kami sedang makan ia selalu bercerita tentang temannya yang akan menyusul kami kesini. Aku sudah hapal jurusnya ini, dia laki laki baik lah, tampan lah, keren lah, mapan lah dan banyak lagi kata kata pujian terlahir dari mulut manis sahabatku satu ini. "Pdkt aja dulu, siapa tau yang ini cocok! Biar kamu gak bakal jadi obat nyamuk lagi kalo kita kita ngumpul bawa pacar masing masing" "Aku lagi males banget pdkt. Aku mau nyari cowok yang mau langsung pacaran sama aku aja," aku tertawa terbahak bahak setelah menanggapi leluconnya. " Aku mau kok langsung pacaran ! Gimana?" Aku langsung menoleh ke arah suara yang menyahut perkataanku. Sahabatku langsung menyuruhnya duduk di hadapan kami. Itulah temannya yang ingin diperkenalkan denganku. Aku menyambut jabatan tangannya. "Jadi sekarang kita pacaran kan?" Aku terpaku bukan karena pertanyaannya barusan ataupun karena terpana melihat wajahnya yang tampan. Aku masih menjabat tangannya bahkan aku tak mendengar suara di sekitarku lagi. Aku hanyut dalam penghilatanku. Bukan sosoknya yang sekarang, ini terlihat seperti ingatan dalam kenangan. Aku tidak mengerti ini, aku melihat dia tertawa kepadaku. Tawa yang selalu ingin ku lihat. Apakah aku sedang menonton drama yang ku perankan sendiri bersamanya, aku melihat kami berdua sedang tertawa dengan memakai pakaian seperti di kisah kisah kolosal. Aku juga melihat ia menggandengku di tengah acara, seperti pesta di zaman ratusan tahun sebelum ini. Aku melihat nuansa klasik di pesta itu. Gambaran aku menangisi tubuhnya yang berlumuran darah di tengah hutan membuatku meneteskan air mata. Rasanya kesedihan ini tak asing bagiku. Aku tidak percaya istilah reinkarnasi, aku juga tidak mengerti apa itu belahan jiwa. Namun saat ini sebelum aku tahu namanya bahkan mungkin sebelum aku terlahir di dunia ini aku sudah sepakat dia lah kekasihku. Iqy 20/2/2016

0 komentar: