Intip Desa Terapu, Kalimantan Selatan

01.32 Unknown 0 Comments

Haloo !
Kali ini saya mau sedikit bercerita lagi tentang pengalaman saya saat penilitian di desa. Sebenarnya perjalanan ini saat tahun 2015 silam. Desa yang saya kunjungi adalah Desa Terapu, pasti pada gak tau kan dimana desanya? Seperti biasa saya selalu ditugaskan di daerah terpencil dan Desa Terapu ini sangatlah terpencil menurut saya. 
Jika kalian ingat tentang desa di tulisan saya sebelumnya yang menurut saya keadaannya jauh berbeda dari kondisi kota saya, nah di Desa Terapu ini keadaanya lebih jauh berbeda lagi dari Desa Sungai Bakau. Di Desa Terapu ini selain letaknya sangat jauh kondisi infrastrukturnya pun sangat memilukan. 
Pada awalnya saya hanya berbekal sedikit informasi tentang letak desa ini, sebelumnya saya harus melewati banyak desa sebelum sampai ke desa tujuan. Dua desa sebelum akhirnya sampai ke Desa Terapu memang kondisinya kurang bagus dan itu masih seperti dugaan saya. Tapi setelah hampir memasuki Desa Terapu saya sangat terkejut, jalan disana hanya seperti jalan setapak. Kendaraan roda empat mana mungkin bisa melewatinya. Untung saja saya mengendarai kendaraan beroda dua, dengan sangat berhati hati saya mengendarainya jujur saja saya sangat khawatir jika ban motor saya melenceng ke luar dari jalan setapak. Belut belut di sawah yang mengapit jalan setapak pun sepertinya tak suka jika saya jatuh ke wilayahnya. 
Saat tiba di depan desa, saya disambut oleh jembatan yang menurut saya jika melewatinya sudah mirip adegan uji nyali. Dan itu satu satunya jalan yang saya tahu harus dilewati jika ingin memasuki desa. Baiklah saya akan memberi tips untuk menyeberangi jembatan kayu yang bentuknya sangat absurd dan banyak pakunya sudah hilang entah kemana, pertama tama sebelum menyeberanginya kita harus yakin kalau tidak lebih baik pulang. Kemudian, pastikan posisi kendaraan kita pas berada di tengah tengah agar tidak keluar dari jembatan saat mulai menyeberang dan terakhir lajukan kendaraan dengan sekencang kencangnya. Jika lambat takutnya kayu jembatan yang tak berpaku akan menggeser dan membuat celah di jembatan yang akan sangat membahayakan kendaraan.
Setelah melewati jembatan pertama, masih banyak lagi jembatan jembatan lainnya yang mengerikan dan tetap harus saya lewati. Bahkan ada jembatan yang sangat susah dinaiki dan memaksa saya mengangkat kendaraan saya. Bayangkan saya mengangkat kendaraan saya sendiri, entah makhluk apa yang merasuki saya saat itu sehingga menjadi sangat kuat. Kepala desa saja terkejut saat saya menceritakannya. Bahkan beliau sangat terkejut saat saya datang ke Desa Terapu hanya mengendarai sepeda motor, sendirian pula. Beliau bercerita dulu saja ada peneliti sebelumnya datang berdua padahal mereka laki laki dan mereka tak berani melewati jalan darat, pada awalnya saya juga sangat heran kenapa saat saya datang warga desa disana langsung tahu kalau saya berasal dari kota. Dan mereka semua  memandang saya dengan tatapan aneh, ternyata disana sangat langka dengan wujud sepeda motor karena alat transportasi utama mereka adalah perahu. Disana adalah kota sungai, mereka berpergian dari rumah ke rumah menggunakan perahu atau kelotok. Sangat sulit bagi mereka berjalan melewati daratan, tak heran jika kondisi jalanan disana luar biasa mengerikan. Pohon tumbang di tengah jalan  pun tak ada yang menyingkirkan, jembatan jembatan dibiarkan rusak. Bahkan ada juga salah satu jembatan saat saya lewati kayunya menjadi berhamburan, kontan saja saya langsung turun membetulkan. Saat saya lewati lagi jembatan itu kembali melepaskan kayu kayunya, kalau tidak salah sampai tiga kali saya membetulkan kayu kayu ulin itu agar kembali seperti semula. Dan saat itu saya tidak menyadari ada beberapa warga desa bersembunyi memperhatikan saya. Saya sangat terkejut saat memergoki mereka, selama ini saya menganggap warga di pedesaan tidak seapatis masyarakat di perkotaan. Tapi kenapa mereka membiarkan saja saya sendirian mengangkut lembaran kayu ulin yang tingginya melebihi badan saya sendiri. Awalnya saya sangat kecewa dengan sikap mereka terhadap saya, tapi setelah saya cari tahu mereka ternyata bukanlah apatis tapi mereka takut dengan orang asing.
Saat hari pertama di Desa Terapu memang belum memberi kesan yang nyaman untuk saya, warga warga disana baru sedikit yang saya temui. Seharian saya hanya menyusuri desa yang masih bisa saya lewati menggunakan sepeda motor, jarak antara rumah satu ke rumah lainnya tergolong jauh. Kebanyakan rumah warga desa di pesisir sungai, jadi terpaksa saya tunda sampai keesokan harinya. 
Saat perjalanan pulang di hari pertama saya merasa sedang sial,  saya sengaja pulang sekitar jam empat sore dari desa agar tidak kemalaman menuju kota. Memang manusia hanya bisa berencana, saat baru saja saya keluar dari Desa Terapu. Saat itu saya masih di kawasan hutan desa keadaannya pun sangat sepi padahal hari hampir senja dan sepeda motor saya mogok. Panik sekali rasanya saat itu, ingin minta tolong tapi tak ada manusia yang lewat. Sepertinya semua doa yang saya hapal telah saya rapalkan saat itu, setelah kira kira hampir satu jam saya otak atik barulah sepeda motor saya kembali bisa digunakan. Tak ingin berlama lama lagi dengan kecepatan maksimal yang saya bisa, saya melaju pulang menuju Kota Banjarmasin. 
Pada esok harinya dikarenakan sepeda motor saya tak bisa digunakan lagi saya mengganti rencana, hari itu saya berangkat ke desa bersama seorang teman saya, Tonny namanya. Sengaja kami membawa bekal makanan dari rumah karena mengingat saat kemarin di desa saya tak menemukan warung satupun dan pada akhirnya bekal kami sia sia tak termakan. 
Akhirnya nasib baik menyertai kami. Saat tiba disana Kepala Desa ternyata sudah menunggu saya kembali, dirumahnya kami disuguhkan berbagai makanan. Beliau pun tak segan mengantar saya berkunjung ke rumah rumah warga menggunakan perahunya. Tak cuma Kepala Desa yang sangat baik menyambut kami, sampai menyediakan makan dan tempat peristirahatan,  warga desa pun sangatlah ramah. Ada ciri khas dari mereka yang saya sadari, mereka selalu meminum teh yang sangat panas dan sangat manis. Berbeda sekali dengan kebiasaan saya yang selalu minum teh tanpa gula, bayangkan saja bagiamana manisnya tenggorokan saya saat disana karena setiap rumah yang saya kunjungi selalu menyuguhkan segelas teh panas yang sangat manis. 
Tak hanya itu kisah manis yang saya alami disana, penerimaan warga desa terhadap kedatangan saya sangatlah membuat saya terharu. Mereka memang tergolong masyarakat kurang sejahtera karena mereka masih banyak mengalami kesusahan diantaranya tak ada air bersih disana  namun mereka selalu lapang untuk saling berbagi. Mereka juga tak mengeluhkan kenapa pemerintah tidak memperhatikan mereka, tak seperti masyarakat kebanyakan. Malah ada satu satu perkataan dari seorang nenek di desa itu yang sangat menarik bagi saya. Saat saya bertanya pernah kah mendengar isu buruk tentang pemerintah di luar sana beliau mengelak memberi tahukan saya. Menurutnya, meski tahu pun beliau tidak berani mengatakan keburukan orang lain karena ia takut akan karma menimpa keluarganya. Beliau takut keluarganya juga mendapat hukuman, makanya manusia harus menjaga tutur katanya jika ingin keturunannya selalu selamat dan bicaralah jika itu penting.
Entah mengapa saya merasa damai saat disana, saya melihat tak ada persaingan gaya hidup diantara mereka layaknya masyarakat di kota. Namun sayang, penduduk disana memang mayoritas petani akan tetapi mereka tidak bertani di lahan sendiri. Hampir semua petani disana menggarap ladang sewaan. Fasilitas pendidikan dan kesehatan juga sangat kurang. Saya sangat miris melihat anak anak di desa harus pergi ke luar desa untuk bersekolah. 
Meskipun ada banyak isu angker dan rawan penjahat yang sempat membuat saya sedikit takut, tapi pada akhirnya saya sangat bersyukur telah menyelesaikan penilitian saya dengan lancar disana. Senyaman apapun tempat yang saya datangi tetap saja saya selalu merindukan rumah saya, jadi setelah selesai bertugas saya langsung bergegas untuk pulang. Ada beberapa foto yang sempat saya abadikan saat disana. Banyak yang bertanya kenapa saya jarang mendapatkan foto human interst saat saya penelitian. Itu karena saya terikat dengan tugas, saya tidak sempat untuk mendokumentasikan lebih banyak. Dan juga saya tidak pernah membawa kamera digital saat penelitian hanya karena mengurangi resiko jika terjadi kejahatan dan agar bawaan saya tidak banyak. Jadi semua foto yang saya dapat saat penelitian semua dari kamera smartphone saya, lebih praktis dan menghemat bawaan.

0 komentar: