Gaes, saya punya tips nih cara mudah buat sehat dan cantik. Baca artikel terbaru saya yaa di sisternet id !

Biji Selasih, Si Mungil Dengan Khasiat Luar Biasa!





http://www.sisternet.co.id/read/279762-biji-selasih-si-mungil-dengan-khasiat-luar-biasa
Hai, apa kabar? Siapa yang kangen permainan tradisional ? Yuk, ingat ingat lagi permainan apa saja sih yang dulu jadi favorit saat kecil. Disini saya mau share artikel yang saya tulis di sisternet id tentang

5 Manfaat Ini Bikin Kamu Berpikir Ulang Soal Permainan Tradisional

.Silakan klik disini yaaaa http://www.sisternet.co.id/read/278576-5-manfaat-ini-bikin-kamu-berpikir-ulang-soal-permainan-tradisional

Balasan Manis

 Hujan saat jalan jalan tidak mengurangi rasa sukaku dengan kota ini. Aku bergegas berteduh di bawah tenda penjual bunga, masih di wilayah strøget, syukur sekali penjualnya sangat ramah. Tak ingin bawaanku basah terkena hujan, aku baru saja mencetak foto foto yang ku abadikan selama di kota ini. Hari ini hari terakhirku, aku harus pulang. Saatnya menghadapi kenyataan di kampung halamanku. Rasanya seperti dunia ini akan berakhir saja.
Aku merapatkan jaketku demi mengurangi rasa dingin yang menembus kulit. Aku harus menikmatinya, masa kebebasanku akan berakhir. Ku pandangi di sekelilingku. Kota ini indah, tak inginku pulang. Pandanganku tertahan ke arah pinggiran toko yang tak jauh dariku. Wanita tua terlihat sibuk membetulkan payungnya yang rusak saat dibuka. Bajunya mulai basah terkena hujan. Tapi kesibukannya terhenti oleh pria yang baru saja menghampirinya. Pria itu memberikannya payung. Tak terdengar apa yang mereka bincangkan tapi sepertinya wanita itu sangat senang dan berpamitan meninggalkan pria yang memberikannya payung tadi. Wah ini seperti gerhana matahari, langka terjadi pikirku. Aku masih memperhatikan ke arah yang tadi. Ku lihat pria itu bergegas mencari tempat berteduh. Sepertinya akan menuju ke arahku. Ada seekor kucing di dalam keranjang yang dibawanya.
Aku sedikit bergeser untuk memberikannya tempat berteduh. Dia tersenyum ringan kepadaku. Aku kembali menikmati pemandangan kota diguyur hujan. Semoga hujan cepat reda. Suara kucing yang dibawa pria tadi membuatku memperhatikannya.
"Sepertinya dia lapar." Gumanku pelan tak bermaksud mengajak pria itu berbicara.
"Ah, benarkah?" Pria itu langsung mengangkat keranjang kucingnya seperti memastikan dan merogoh saku jaketnya. Biskuit kucing. Aku bukan terkesima karena kecepatannya membuka bungkus biskuit dan langsung memberikannya kepada kucingnya, memang sangat tanggap. Tapi, tadi dia berbicara dengan bahasaku. 
"Indonesia ?"tiba tiba saja aku bertanya, tanpa sadar.
"Ya, dan kamu bisa mengerti bahasa kucing." Pria itu menolehku sekilas sambil tertawa lalu kembali memperhatikan kucingnya.
Aku tak bisa menahan tawaku. Pria itu kembali melihatku.
"Ini kucing tetanggaku, tadi aku membawanya ke klinik untuk mengobati luka di kakinya. Tetanggaku memberikan ini sebelum aku berangkat, tapi aku tidak tahu kapan harus memberikan kepada kucing kecil ini," pria itu menunjukan bungkus biskuit yang isinya telah habis kepadaku.
"Terimakasih," lanjutnya.
Aku mengangguk lalu memperhatikan kucingnya, aku melihat perban di kaki kucing itu. 
"Kakinya patah?" aku bertanya basa basi.
"Ya, kamu sangat hebat langsung tahu saat pertama melihat." Pria itu berdecak kagum.
"Aku dokter hewan." Tanpa sedikitpun ingin menyombongkan diri aku memberitahukan profesiku kepadanya.
"Oh, benarkah?" Aku mengangguk mengiyakan, aku melihat sekitar nampaknya hujan tak kunjung reda. Untung saja ada teman mengobrol. Hawa dingin menjadi terabaikan.
"Dimana tempatmu praktek ?" Tanyanya lagi basa basi.
"Aku hanya turis beberapa hari disini, aku bekerja untuk International Primate Protection League." Aku melihat keterkejutan pria itu. Kami kembali berbincang sampai akhirnya kucing yang dibawanya kembali mengeong.
"Apakah dia lapar lagi? Aku bahkan tidak memiliki biskuit tersisa, seharusnya aku cepat pulang." pria itu berusaha menenangkan kucingnya.
"Seandainya kamu tadi tidak memberikan payungmu, kamu tidak akan terjebak disini." dengan menyesal aku telah mengeluarkan kata kata itu. Seharusnya aku tidak mengatakannya. Entah apa yang dipikirkan pria itu tentangku. Namun pria itu tersenyum kepadaku.
"Aku tidak pernah menyesal setelah memberikan payung kepada nenek tadi." Ungkapnya. Aku semakin merasa tidak enak telah mengatakannya. 
"Ah, ya. Aku hanya," aku bingung harus berkata apa. Sangat canggung rasanya.
"Tak apa, kamu lucu sekali." Pria itu tertawa seolah ingin menghilangkan rasa canggungku.
"Kamu baik sekali masih bisa mementingkan kepentingan orang lain daripada dirimu sendiri." Aku tulus mengucapkannya. Pria itu menoleh ke arahku. Wajahnya selalu menampakan raut yang tenang.
"Benda yang sangat sayang untuk kau berikan adalah hadiah terbaik menurutku. Kamu muslim?"
Aku mengangguk, pria itu kembali melanjutkan berbicara. "Sebenarnya ini berlaku untuk siapapun, bahkan atheis. Hukum alam. Berbagilah jika ingin harapanmu terkabul. Berbagilah jika ingin kaya, kau beri 1 maka kau mendapat berkali lipat. Aku percaya itu." Dia kembali memandangku. "Mungkin kamu menganggapku aneh, tapi setiap aku berdoa menginginkan sesuatu aku bersedekah. Dan itu bekerja. Aku mendapatkannya. Memang seperti itu aturannya." Aku mengangguk dan mencoba mengerti. 
Tak terasa kami sudah berbincang lama. Hujan sudah reda. Kami berpisah, aku kembali melanjutkan perjalananku. Aku kembali ke kenyataanku. Aku harus pulang ke Indonesia. Rasa pahit ini kembali terasa. Rasa takut ini kembali datang. Sejenak ternyata aku bisa melupakannya. 
Hujan turun mempertemukanku dengan pria tadi, bahkan aku tidak tahu namanya tapi dia berhasil mengalihkan perhatianku dari kenyataan yang akhir akhir ini membuat aku uring uringan. 
Sesampai di hostel aku langsung berkemas, besok pagi pagi sekali aku harus sudah di bandara. Malam ini aku berencana berjalan menyusuri menikmati malam terakhirku di Copenhagen. Aku teringat dengan amplop foto yang baru ku cetak tadi siang. Sama sekali belum ku buka. 
Aku keluarkan semua isi foto di dalamnya. Ku perhatikan satu persatu. Aku sangat suka street fotografi. Foto foto ini oleh oleh perjalananku selama disini. 
Aku terdiam mengamati salah satu foto yang telah ku ambil. Sangat mengejutkan. Pria tadi siang. Ya, dia  ada di dalam frame ini. Aku mencoba mengingat saat di taman Radlum Pladsen melihat seorang pria memberi makan kepada burung burung merpati dan aku mengabadikannya. Tak sadar aku tersenyum sendiri.
Aku teringat kata kata pria tadi, tak ada kebetulannya menurutnya. Semesta bekerja sesuai aturannya. Itu artinya ini juga bukan kebetulan. Aku senang berbincang dengannya. Pria itu menarik. Cara dia berpikir dan hidup sangat menarik. Aku tersadar dari pikiranku tentang pria itu, smartphoneku berbunyi. "Assalamualaikum bu, ya besok pagi aku pulang. Ya terserah ibu saja, aku akan mengikuti semua yang diharuskan oleh adat. Aku juga rindu ayah ibu. Waalaikumsalam." Lagi lagi aku menghembuskan nafas yang berat. Ibuku terdengar sangat senang tadi ditelpon. Rupanya persiapan pertunanganku sudah beres. Harapan keluarga besarku akan terlaksana dan aku disini tak memiliki harapan apa apa. Semua terasa begitu cepat terjadi. Bahkan sebelum aku mengerti semua dengan kejadian yang menimpa hidupku. Rasanya baru saja aku diizinkan pergi ke US untuk bergabung di IPPL, ternyata sudah tiga tahun terlewat. Aku memiliki kekasih, satu tahun terakhir aku habiskan untuk mencintainya dan rasanya baru kemarin aku melihatnya mengkhianatiku. Ternyata sudah satu bulan terlewat. Kabar aku dipindahkan ke kota asalku pun ikut menamparku dua minggu yang lalu, rasanya seperti baru kemarin aku mendengarnya. Bukan karena aku tak mencintai kampung halamanku, aku pun ingin pulang. Rindu dengan Indonesia. Tapi apa daya, keluarga besarku adalah suku melayu yang masih menjunjung tinggi adat. Bagi mereka umurku yang sudah 26 tahun ini harus segera menikah. Awalnya aku tak masalah jika tahun ini menikah, karena aku sudah memiliki seorang kekasih yang sangat ku cintai. Dan dua minggu yang lalu aku dikabarkan akan pindah. Mau tidak mau aku akan pulang. Didesak menikah dengan berat hati aku mengakui kalau aku tak lagi memiliki kekasih. Ku kira akan memiliki waktu untuk bernafas lega dari desakan pernikahan. Ternyata dengan secepat kilat keluargaku mempersiapkan perjodohanku entah dengan anak siapa yang hanya ku tahu ini wajib. Aku tak boleh menolak. Aku hanya harus pulang dan menikah, bahkan sebelum aku mencerna semua kejadian ini. Setidaknya aku melakukan ini karena aku sangat menyayangi keluargaku. 
Sebelum aku kembali ke Indonesia aku menyempatkan ke kota ini. Menikmati sisa sisa masa lajangku.
Aku kembali teringat dengan pria tadi siang. Aku ingin bertemu dengannya. Aku berharap bisa bertemu lagi untuk terakhir kalinya. Entahlah perasaan apa ini. Mungkin ini yang dialami orang orang yang putus asa pikirku. Keanehan. 
Ku lihat jam dinding di kamar hostel, semua sudah siap. Aku akan jalan jalan sebentar menikmati kota ini dan berharap bertemu pria tadi siang. 
Sleep in heaven, hostel yang aku tempati, berdekatan dengan kafe  kafe yang ramai dikunjungi anak muda setempat. Berjalan menyusuri malam yang masih terang, aku kembali terpikir dengan pria tadi siang. Aku teringat kata katanya. Baiklah, akan aku coba. Aku berharap bertemu dengannya lagi, itu artinya aku harus "berbagi" agar tuhan mengabulkannya.
Aku terus berjalan sambil tersipu dengan tingkahku sendiri. Pertama memang sulit mencari orang yang akan ku bantu. Saat aku memasuki salah satu toko aku mendadak ingin membukakan pintu untuk wanita yang ingin masuk berbarengan denganku. Sangat mendadak. Aku melihat ekspresi keterkejutan wanita tadi. Aku berusaha tersenyum tulus kepadanya. Ini lucu, tapi menarik. Aku juga memberikan permen kepada anak kecil yang bertemu denganku saat di term. 
Kakiku sudah mulai lelah, hari sudah larut saat aku kembali ke hostel. Pemula tidak gampang pikirku. Mungkin lain kali tuhan akan mengabulkannya. Wah, aku mulai percaya lagi dengan harapan dan berharap besok adalah hari baik untukku. 
Berjam jam tidur di pesawat akhirnya aku sampai di kampung halaman, aku memilih tidak dijemput di bandara. Aku pulang ke rumah naik taksi. Sepanjang perjalanan aku merasa gugup. Malam ini pertunanganku. Aku menghirup nafas panjang untuk menenangkan diriku sendiri. Ini bukan akhir hidup pikirku, aku harus ceria. Ini awal yang baru. Taksi berhenti di depan rumahku yang sudah mulai ramai terparkir mobil di depannya. Pasti keluarga besarku sudah berkumpul. Aku bisa membayangkan betapa sibuknya mereka mempersiapkan pertunangan cucu terakhir di keluarga kami, apalagi aku satu satunya cucu perempuan. "Mbak, kopernya sudah saya keluarkan dari bagasi. Apa perlu saya antar ke dalam?" sopir taksi menyadarkanku yang dari tadi hanya memandangi ke arah rumah.
"Ah, iya pak terimakasih biar saya yang bawa. Berapa pak?" Aku melihat ke arah argo sambil mengeluarkan uang dari dompet. Lagi lagi aku teringat kata kata pria yang ku temui di Copenhagen. Memberi jika ingin diberi. Aku ingin tuhan memberikan aku kehidupan yang indah. Bukan perjodohan mengerikan yang selama ini menghantuiku. Ku serahkan lembaran uang kertas dua kali lipat nominalnya dari argo yang harus ku bayar untuk sopir taksi. 
"Sisanya untuk bapak. Oh iya malam ini saya tunangan pak, doakan ya calonnya ganteng." aku terkekeh kepada sopir taksi. Kali ini aku merasa seperti mendapat energi tambahan, aku siap masuk ke dalam rumah. 
Pulang kampung memang menyenangkan. Aku kebanjiran kata rindu dari keluargaku. Mereka sangat antusias membantuku bersiap. Waktu berlalu cepat. Menit menit terakhir rasanya membuatku sangat gugup. Aku mencoba tetap terlihat tenang. Kak Dian, salah satu kakak iparku, memastikan dandananku sebelum aku dipanggil keluar kamar. Dia terlihat lebih gugup daripada aku.
"Keluarga Panji sudah datang dik," kak Dian merapikan rambutku yang sebenarnya sudah rapi. 
"Namanya Panji ya," aku berguman pelan.
"Iya, nanti kalau Tara ngeliat pasti suka. Panji ganteng banget dik. Dari keluarga baik baik juga. Tara jangan khawarir pokoknya."
Aku tersenyum mendengarnya. Aku harus siap memulai awal hidupku dengan, yang kata kak Dian, si ganteng dari keluarga baik baik. 
Perlahan aku melangkah menuju ruang berkumpul keluargaku menyambut keluarga calon tunanganku. 
Aku terperangah tak percaya. Sampai akhirnya aku diberi kesempatan duduk disamping tunanganku.
"Tara, si dokter hewan." Bisik pria disampingku yang sekarang sudah menjadi tunanganku.
"Ini nyata?" Aku mencoba berbisik sepelan mungkin agar tidak ketahuan.
"Kau tahu seberapa sering aku bersedekah agar kita bisa bertemu lagi?" Kata pria itu sambil berpaling memandangku. Kata katanya membuatku terkejut. Aku tak menyangka ternyata dia juga berharap bertemu denganku lagi.
Ini menakjubkan. Aku benar benar terkesima dengan rencana tuhan.
"Terimakasih sudah berusaha bertemu denganku, lagi." Aku memberikan senyum terbaikku kepada Panji, tunanganku si pria di Copenhagen.

Kekasih dari Semesta


Bahasa semesta, aku meyakini semesta selalu berbicara, bercerita, bahkan bernyanyi dengan bahasanya sendiri. Sengaja ku hanyutkan diriku dalam bisingnya suara kehidupan, disini aku berjalan mengamati warna warni tingkah sosial manusia. Tawa mereka, lengkingan teriakan mereka yang beradu dengan desingan suara mesin kendaraan bermotor. Ini tak menggangguku, aku sangat menikmati bisingnya suara kehidupan, dimanapun itu. Perkotaan ataupun pedesaan semua sama sama ingin didengar. Aku berhenti di bawah pohon rindang di tengah taman kota, hanyut dalam diamku. Beginilah caraku mendengarkan bahasa semesta, mencoba menafsirkannya, menikmati nyanyiannya. Meski aku tak mengerti apa yang ingin disampaikannya, namun aku yakin semesta selalu tahu aku selalu ada memperhatikannya. Mencoba bercengkrama dengannya. Seringkali mereka yang mengenalku tak percaya aku bukanlah seorang ekstrovert melainkan seorang ambivert, itulah istilah yang dijelaskan temanku seorang mahasiswa psikologi mengenai diriku. Sebagian besar dari mereka yang mengenalku menilai aku sebagai makhluk yang sangat suka keramaian, suka bersosialisasi dan berkumpul dengan banyak orang dan membicarakan banyak hal. Memang benar, aku seperti itu tapi ada saatnya aku hanya ingin sendiri. Seperti seharian ini, aku sangat malas mengaktifkan smartphone. Aku ingin bersantai sejenak dari aktivitasku yang begitu padat, begitulah mereka menyebutnya untuk mencibirku agar aku merasa bersalah karena terlalu sibuk dan tak punya banyak waktu untuk mereka. Tapi keegoisan ini segera berakhir, tak jauh dari pohon tempatku bernaung salah satu sahabatku berjalan menghampiriku. Selama ini ia selalu bisa menemukanku. "Udah selesai motretnya? Liat dong," tanpa menunggu basa basiku dipungutnya kamera yang ada dipangkuanku. "Darimana sih? Kok bisa ketemu disini?" Aku heran dengan kemunculannya seolah olah kami sudah membuat janji untuk bertemu disini. "Lah aku kan tiap pulang kerja lewat jalan ini, tadi pas banget ngeliat kamu. Langsung mampir deh," Ku pandangi wajah sahabatku yang satu ini, aku sadar belakangan ini aku mencoba menghindarinya. Padahal biasanya kami mencuri curi waktu di tengah kesibukan kami tiap harinya untuk saling bertemu bersama sahabatku yang lainnya. Karena bersama mereka sudah seperti pulang ke rumah untuk beristirahat. Aku merindukannya, tawanya, cerita ceritanya tapi tidak lelucon konyol perjodohannya. Aku merasa heran dalam bulan terakhir ini mereka selalu berupaya menjodohkanku dengan bermacam macam kriteria laki laki. Berulang kali aku menjelaskan aku belum membutuhkan sosok kekasih lagi, aku mengerti mereka hanyalah ingin aku bahagia. Tapi bahagia tidak harus punya kekasih. Bertahun tahun aku tak punya kekasih bukan berati aku manusia yang sangat mencintai dirinya sendiri, itu istilah dari mereka ketika aku menolak calon calon jodoh yang mereka tawarkan, tapi aku hanya merasa ini belum saatnya. Aku selalu membayangkan kebebasan yang terenggut oleh komitmen sepasang kekasih setiap melihat laki laki yang bermaksud mendekatiku. Sederhana kesimpulannya, aku belum jatuh cinta. Karena menurutku cinta artinya rela. Rela waktunya terbuang bersama kekasih, rela uangnya dipakai untuk kencan, rela dan rela segalanya. Dan sekarang aku belum memiliki kerelaan itu. Kami beranjak dari taman untuk pergi mencari makan, dulu aku tak masalah jika sahabatku mengajak bergabung dengan teman temannya yang lain. Menurutku itu menyenangkan, itulah salah satu alasan kenapa mereka menyebutku ekstrovert. Tapi tidak untuk sekarang, aku waspada jika ini hanyalah triknya untuk menjodohkan aku lagi. Benar saja dugaanku, di tengah kami sedang makan ia selalu bercerita tentang temannya yang akan menyusul kami kesini. Aku sudah hapal jurusnya ini, dia laki laki baik lah, tampan lah, keren lah, mapan lah dan banyak lagi kata kata pujian terlahir dari mulut manis sahabatku satu ini. "Pdkt aja dulu, siapa tau yang ini cocok! Biar kamu gak bakal jadi obat nyamuk lagi kalo kita kita ngumpul bawa pacar masing masing" "Aku lagi males banget pdkt. Aku mau nyari cowok yang mau langsung pacaran sama aku aja," aku tertawa terbahak bahak setelah menanggapi leluconnya. " Aku mau kok langsung pacaran ! Gimana?" Aku langsung menoleh ke arah suara yang menyahut perkataanku. Sahabatku langsung menyuruhnya duduk di hadapan kami. Itulah temannya yang ingin diperkenalkan denganku. Aku menyambut jabatan tangannya. "Jadi sekarang kita pacaran kan?" Aku terpaku bukan karena pertanyaannya barusan ataupun karena terpana melihat wajahnya yang tampan. Aku masih menjabat tangannya bahkan aku tak mendengar suara di sekitarku lagi. Aku hanyut dalam penghilatanku. Bukan sosoknya yang sekarang, ini terlihat seperti ingatan dalam kenangan. Aku tidak mengerti ini, aku melihat dia tertawa kepadaku. Tawa yang selalu ingin ku lihat. Apakah aku sedang menonton drama yang ku perankan sendiri bersamanya, aku melihat kami berdua sedang tertawa dengan memakai pakaian seperti di kisah kisah kolosal. Aku juga melihat ia menggandengku di tengah acara, seperti pesta di zaman ratusan tahun sebelum ini. Aku melihat nuansa klasik di pesta itu. Gambaran aku menangisi tubuhnya yang berlumuran darah di tengah hutan membuatku meneteskan air mata. Rasanya kesedihan ini tak asing bagiku. Aku tidak percaya istilah reinkarnasi, aku juga tidak mengerti apa itu belahan jiwa. Namun saat ini sebelum aku tahu namanya bahkan mungkin sebelum aku terlahir di dunia ini aku sudah sepakat dia lah kekasihku. Iqy 20/2/2016

Intip Desa Terapu, Kalimantan Selatan

Haloo !
Kali ini saya mau sedikit bercerita lagi tentang pengalaman saya saat penilitian di desa. Sebenarnya perjalanan ini saat tahun 2015 silam. Desa yang saya kunjungi adalah Desa Terapu, pasti pada gak tau kan dimana desanya? Seperti biasa saya selalu ditugaskan di daerah terpencil dan Desa Terapu ini sangatlah terpencil menurut saya. 
Jika kalian ingat tentang desa di tulisan saya sebelumnya yang menurut saya keadaannya jauh berbeda dari kondisi kota saya, nah di Desa Terapu ini keadaanya lebih jauh berbeda lagi dari Desa Sungai Bakau. Di Desa Terapu ini selain letaknya sangat jauh kondisi infrastrukturnya pun sangat memilukan. 
Pada awalnya saya hanya berbekal sedikit informasi tentang letak desa ini, sebelumnya saya harus melewati banyak desa sebelum sampai ke desa tujuan. Dua desa sebelum akhirnya sampai ke Desa Terapu memang kondisinya kurang bagus dan itu masih seperti dugaan saya. Tapi setelah hampir memasuki Desa Terapu saya sangat terkejut, jalan disana hanya seperti jalan setapak. Kendaraan roda empat mana mungkin bisa melewatinya. Untung saja saya mengendarai kendaraan beroda dua, dengan sangat berhati hati saya mengendarainya jujur saja saya sangat khawatir jika ban motor saya melenceng ke luar dari jalan setapak. Belut belut di sawah yang mengapit jalan setapak pun sepertinya tak suka jika saya jatuh ke wilayahnya. 
Saat tiba di depan desa, saya disambut oleh jembatan yang menurut saya jika melewatinya sudah mirip adegan uji nyali. Dan itu satu satunya jalan yang saya tahu harus dilewati jika ingin memasuki desa. Baiklah saya akan memberi tips untuk menyeberangi jembatan kayu yang bentuknya sangat absurd dan banyak pakunya sudah hilang entah kemana, pertama tama sebelum menyeberanginya kita harus yakin kalau tidak lebih baik pulang. Kemudian, pastikan posisi kendaraan kita pas berada di tengah tengah agar tidak keluar dari jembatan saat mulai menyeberang dan terakhir lajukan kendaraan dengan sekencang kencangnya. Jika lambat takutnya kayu jembatan yang tak berpaku akan menggeser dan membuat celah di jembatan yang akan sangat membahayakan kendaraan.
Setelah melewati jembatan pertama, masih banyak lagi jembatan jembatan lainnya yang mengerikan dan tetap harus saya lewati. Bahkan ada jembatan yang sangat susah dinaiki dan memaksa saya mengangkat kendaraan saya. Bayangkan saya mengangkat kendaraan saya sendiri, entah makhluk apa yang merasuki saya saat itu sehingga menjadi sangat kuat. Kepala desa saja terkejut saat saya menceritakannya. Bahkan beliau sangat terkejut saat saya datang ke Desa Terapu hanya mengendarai sepeda motor, sendirian pula. Beliau bercerita dulu saja ada peneliti sebelumnya datang berdua padahal mereka laki laki dan mereka tak berani melewati jalan darat, pada awalnya saya juga sangat heran kenapa saat saya datang warga desa disana langsung tahu kalau saya berasal dari kota. Dan mereka semua  memandang saya dengan tatapan aneh, ternyata disana sangat langka dengan wujud sepeda motor karena alat transportasi utama mereka adalah perahu. Disana adalah kota sungai, mereka berpergian dari rumah ke rumah menggunakan perahu atau kelotok. Sangat sulit bagi mereka berjalan melewati daratan, tak heran jika kondisi jalanan disana luar biasa mengerikan. Pohon tumbang di tengah jalan  pun tak ada yang menyingkirkan, jembatan jembatan dibiarkan rusak. Bahkan ada juga salah satu jembatan saat saya lewati kayunya menjadi berhamburan, kontan saja saya langsung turun membetulkan. Saat saya lewati lagi jembatan itu kembali melepaskan kayu kayunya, kalau tidak salah sampai tiga kali saya membetulkan kayu kayu ulin itu agar kembali seperti semula. Dan saat itu saya tidak menyadari ada beberapa warga desa bersembunyi memperhatikan saya. Saya sangat terkejut saat memergoki mereka, selama ini saya menganggap warga di pedesaan tidak seapatis masyarakat di perkotaan. Tapi kenapa mereka membiarkan saja saya sendirian mengangkut lembaran kayu ulin yang tingginya melebihi badan saya sendiri. Awalnya saya sangat kecewa dengan sikap mereka terhadap saya, tapi setelah saya cari tahu mereka ternyata bukanlah apatis tapi mereka takut dengan orang asing.
Saat hari pertama di Desa Terapu memang belum memberi kesan yang nyaman untuk saya, warga warga disana baru sedikit yang saya temui. Seharian saya hanya menyusuri desa yang masih bisa saya lewati menggunakan sepeda motor, jarak antara rumah satu ke rumah lainnya tergolong jauh. Kebanyakan rumah warga desa di pesisir sungai, jadi terpaksa saya tunda sampai keesokan harinya. 
Saat perjalanan pulang di hari pertama saya merasa sedang sial,  saya sengaja pulang sekitar jam empat sore dari desa agar tidak kemalaman menuju kota. Memang manusia hanya bisa berencana, saat baru saja saya keluar dari Desa Terapu. Saat itu saya masih di kawasan hutan desa keadaannya pun sangat sepi padahal hari hampir senja dan sepeda motor saya mogok. Panik sekali rasanya saat itu, ingin minta tolong tapi tak ada manusia yang lewat. Sepertinya semua doa yang saya hapal telah saya rapalkan saat itu, setelah kira kira hampir satu jam saya otak atik barulah sepeda motor saya kembali bisa digunakan. Tak ingin berlama lama lagi dengan kecepatan maksimal yang saya bisa, saya melaju pulang menuju Kota Banjarmasin. 
Pada esok harinya dikarenakan sepeda motor saya tak bisa digunakan lagi saya mengganti rencana, hari itu saya berangkat ke desa bersama seorang teman saya, Tonny namanya. Sengaja kami membawa bekal makanan dari rumah karena mengingat saat kemarin di desa saya tak menemukan warung satupun dan pada akhirnya bekal kami sia sia tak termakan. 
Akhirnya nasib baik menyertai kami. Saat tiba disana Kepala Desa ternyata sudah menunggu saya kembali, dirumahnya kami disuguhkan berbagai makanan. Beliau pun tak segan mengantar saya berkunjung ke rumah rumah warga menggunakan perahunya. Tak cuma Kepala Desa yang sangat baik menyambut kami, sampai menyediakan makan dan tempat peristirahatan,  warga desa pun sangatlah ramah. Ada ciri khas dari mereka yang saya sadari, mereka selalu meminum teh yang sangat panas dan sangat manis. Berbeda sekali dengan kebiasaan saya yang selalu minum teh tanpa gula, bayangkan saja bagiamana manisnya tenggorokan saya saat disana karena setiap rumah yang saya kunjungi selalu menyuguhkan segelas teh panas yang sangat manis. 
Tak hanya itu kisah manis yang saya alami disana, penerimaan warga desa terhadap kedatangan saya sangatlah membuat saya terharu. Mereka memang tergolong masyarakat kurang sejahtera karena mereka masih banyak mengalami kesusahan diantaranya tak ada air bersih disana  namun mereka selalu lapang untuk saling berbagi. Mereka juga tak mengeluhkan kenapa pemerintah tidak memperhatikan mereka, tak seperti masyarakat kebanyakan. Malah ada satu satu perkataan dari seorang nenek di desa itu yang sangat menarik bagi saya. Saat saya bertanya pernah kah mendengar isu buruk tentang pemerintah di luar sana beliau mengelak memberi tahukan saya. Menurutnya, meski tahu pun beliau tidak berani mengatakan keburukan orang lain karena ia takut akan karma menimpa keluarganya. Beliau takut keluarganya juga mendapat hukuman, makanya manusia harus menjaga tutur katanya jika ingin keturunannya selalu selamat dan bicaralah jika itu penting.
Entah mengapa saya merasa damai saat disana, saya melihat tak ada persaingan gaya hidup diantara mereka layaknya masyarakat di kota. Namun sayang, penduduk disana memang mayoritas petani akan tetapi mereka tidak bertani di lahan sendiri. Hampir semua petani disana menggarap ladang sewaan. Fasilitas pendidikan dan kesehatan juga sangat kurang. Saya sangat miris melihat anak anak di desa harus pergi ke luar desa untuk bersekolah. 
Meskipun ada banyak isu angker dan rawan penjahat yang sempat membuat saya sedikit takut, tapi pada akhirnya saya sangat bersyukur telah menyelesaikan penilitian saya dengan lancar disana. Senyaman apapun tempat yang saya datangi tetap saja saya selalu merindukan rumah saya, jadi setelah selesai bertugas saya langsung bergegas untuk pulang. Ada beberapa foto yang sempat saya abadikan saat disana. Banyak yang bertanya kenapa saya jarang mendapatkan foto human interst saat saya penelitian. Itu karena saya terikat dengan tugas, saya tidak sempat untuk mendokumentasikan lebih banyak. Dan juga saya tidak pernah membawa kamera digital saat penelitian hanya karena mengurangi resiko jika terjadi kejahatan dan agar bawaan saya tidak banyak. Jadi semua foto yang saya dapat saat penelitian semua dari kamera smartphone saya, lebih praktis dan menghemat bawaan.

Desa Sungai Bakau, Kalimantan Selatan

Haloo salam blogger !

Pertama kali ngeblog saya mau menulis tentang salah satu desa terpencil d provinsi saya. Sebelumnya saya mau ngasih tau dulu kalau saya tinggal di kota Banjarmasin, tepatnya ibu kota provinsi Kalimantan Selatan. Nah mengenai desa terpencil yang saya maksud adalah desa Sungai Bakau, pertama kali saya mendengar nama desa ini saat saya ditugaskan penelitian karena selain menjadi mahasiswa terkadang saya juga mengambil pekerjaan sambilan membantu berbagai lembaga untuk penelitian. Saat itu saya benar benar tidak tahu dimana letak desa ini. Malu juga rasanya orang asli Kalimantan Selatan tapi tidak tahu seluk beluk provinsinya sendiri.
Tapi ternyata tidak hanya saya yang tidak mengenal dengan provinsi sendiri, hampir semua teman teman saya juga tidak tahu dimana sebenarnya desa Sungai Bakau. Padahal saat itu saya harus berangkat ke desa Sungai Bakau untuk penelitian. Saya mencoba searching di google ternyata desa Sungai Bakau adalah desa yang ada di Kecamatan Kurau yang termasuk wilayah Kabupaten Tanah Laut.
Dengan berbekal sedikit informasi tentang desa Sungai Bakau, keesokan harinya berangkatlah saya ditemani teman saya menuju ke lokasi. Ternyata sangat berbeda dari perkiraan saya, menuju desa Sungai Bakau sangatlah jauh. Hari pertama saya sampai disana saya hanya bersinggah ke rumah paling depan yang ada disana untuk sekedar bertanya tanya. Karena niat saya hari itu memang hanya menyurvey letak lokasi saja dan besok baru saya datang lagi sendirian untuk bekerja.
Kesan pertama saya tentang desa Sungai Bakau kurang menyenangkan karena selain lokasinya sangat jauh dari kota, sepi, infrastruktur jalannya juga tidak bisa dikatakan mulus. Tanah merah dan bebatuan besar menyapa motor saya disepanjang jalan.
Namun setelah saya perhatikan alam di desa Sungai Bakau itu indah, saya masuk lebih ke dalam desa. Irigasi yang airnya sangat jernih terlihat jelas saat saya melintasi jalan di desa. Tapi ada pemandangan yang membuat saya terpana namun sayang sekali saya lupa menanyakan apa itu dengan penduduk desa jadi sampai sekarang saya tidak tahu apa lebih jelasnya yang saya telah lihat. Baiklah saya akan mencoba jelaskan gambaran pemandangan aneh dan menakjubkan yang pernah saya lihat itu. Tidak seperti sungai lainnya diatasnya tersusun entah apa itu tapi sepertinya batang pohon yang tertanam di sungai namun sudah keropos banyak sekali berjejer memenuhi sungai. Warna sungai coklat pekat dan menampilkan siluet dari masing masing barisan batang pohon yang ada diatasnya. Sayang sekali saya tidak punya dokumentasinya. Namun pemandangan keindahan irigasi di sana sempat saya abadikan.
Selain takjub dengan kondisi alam disana saya juga terkesima dengan keramahan masyarakat desa. Senang sekali berkenalan dengan mereka, sungguh mengharukan mengingat kenangan disana. Meskipun jauh dari fasilitas hidup yang layak dan tingkat pendidikan yang sangat rendah karena rata rata masyarakat disana hanyalah lulusan sekolah dasar namun mereka memiliki hati yang luar biasa. Dengan senang hati mereka selalu membantu saya saat disana. Berbeda dengan masyarakat kota yang cendrung apatis, masyarakat disana sangat peduli dengan satu sama lain. Untuk masalah penginapan pun mereka menawarkan kediaman mereka masing masing tanpa harus saya bayar.
Mereka seperti keluarga jauh yang baru saya temui, sangat cepat mereka menerima saya dilingkungan mereka. Tapi selalu ada kesedihan yang terselip dibalik kegembiraan yang mereka berikan untuk saya. Bagaimana saya tidak sedih, meskipun saya sempat terhipnotis dengan indahnya sawah sawah yang subur di sana, gembiranya melihat gemuknya sapi sapi yang mereka miliki namun itu sama sekali tidak bisa disebut mereka masyarakat yang kaya. Karena infrastruktur yang tidak memadai mengakibatkan mereka menjadi petani dan nelayan yang bekerja masih menggunakan metode seperti era tahun 90-an. Tentu saja itu semua menjadikan pertumbuhan ekonomi desa mereka tertinggal jauh dibanding wilayah lain, apalagi dengan mulainya berlaku kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) apalah daya mereka untuk bersaing. Bahkan saya yakin mengenai MEA pun pasti mereka tidak tahu sama sekali, karena saat saya bertanya tentang nama nama pemimpin di provinsi kami saja mereka tidak mengenal, koran pun tidak didistribusikan di desa mereka bahkan masih banyak diantara mereka yang masih buta huruf. Miris rasanya di saat pemerintah di kabupaten mereka berlindung di dalam mobil dinasnya pulang pergi kerja, tapi rakyat yang seharusnya menjadi majikan mereka sedang bersusah payah menjalani kerasnya kehidupan. Bahkan saya sangat terkejut melihat kenyataan masih ada diantara mereka yang makan hanya dengan nasi dicampur gula. Tinggal di rumah yang tidak dibangun permanen bahkan tidak memiliki toilet.
Begitulah keadaannya, meskipun air bersih susah didapat, gelapnya malam masih dirasakan mereka namun kebahagian menikmati hidup selalu jelas terlihat di raut wajah mereka.
Lelah yang seharusnya saya rasakan saat bekerja meneliti di desa mereka tidak terasa apa apa karena kebaikan hati mereka yang selalu membantu dan memberi kenyamanan untuk saya.
Tidak ada henti hentinya saya dikejutkan dengan alam dan keadaan di desa Sungai Bakau. Sampai pada hari terakhir pun saat saya berjalan ingin meneliti masyarakat yang bermukim diujung desa, saya dikejutkan dengan penampakan pantai. Benar benar tidak menyangka desa ini memiliki pantai, saya sampai berpikir jangan jangan masih ada lagi keindahan yang disembunyikan desa ini.
Tapi sayang sekali saya harus segera kembali ke kota Banjarmasin karena tugas saya sudah selesai, banyak penyesalan yang saya  rasakan saat meninggalkan desa Sungai Bakau. Salah satunya saya menyesal tidak membawakan apapun dari Banjarmasin untuk kenang kenangan bagi masyarakat desa. Padahal mereka sudah sangat banyak memberikan yang saya butuhkan selama disana. Saya juga menyesal tidak banyak mengabadikan keindahan alam disana, bahkan saya tidak sempat mengambil potret dari kegiatan mereka disana karena harus segera menyelesaikan penelitian.