Biji Selasih, Si Mungil Dengan Khasiat Luar Biasa!
http://www.sisternet.co.id/read/279762-biji-selasih-si-mungil-dengan-khasiat-luar-biasa
Bahasa semesta, aku meyakini semesta selalu berbicara, bercerita, bahkan bernyanyi dengan bahasanya sendiri. Sengaja ku hanyutkan diriku dalam bisingnya suara kehidupan, disini aku berjalan mengamati warna warni tingkah sosial manusia. Tawa mereka, lengkingan teriakan mereka yang beradu dengan desingan suara mesin kendaraan bermotor. Ini tak menggangguku, aku sangat menikmati bisingnya suara kehidupan, dimanapun itu. Perkotaan ataupun pedesaan semua sama sama ingin didengar. Aku berhenti di bawah pohon rindang di tengah taman kota, hanyut dalam diamku. Beginilah caraku mendengarkan bahasa semesta, mencoba menafsirkannya, menikmati nyanyiannya. Meski aku tak mengerti apa yang ingin disampaikannya, namun aku yakin semesta selalu tahu aku selalu ada memperhatikannya. Mencoba bercengkrama dengannya. Seringkali mereka yang mengenalku tak percaya aku bukanlah seorang ekstrovert melainkan seorang ambivert, itulah istilah yang dijelaskan temanku seorang mahasiswa psikologi mengenai diriku. Sebagian besar dari mereka yang mengenalku menilai aku sebagai makhluk yang sangat suka keramaian, suka bersosialisasi dan berkumpul dengan banyak orang dan membicarakan banyak hal. Memang benar, aku seperti itu tapi ada saatnya aku hanya ingin sendiri. Seperti seharian ini, aku sangat malas mengaktifkan smartphone. Aku ingin bersantai sejenak dari aktivitasku yang begitu padat, begitulah mereka menyebutnya untuk mencibirku agar aku merasa bersalah karena terlalu sibuk dan tak punya banyak waktu untuk mereka. Tapi keegoisan ini segera berakhir, tak jauh dari pohon tempatku bernaung salah satu sahabatku berjalan menghampiriku. Selama ini ia selalu bisa menemukanku. "Udah selesai motretnya? Liat dong," tanpa menunggu basa basiku dipungutnya kamera yang ada dipangkuanku. "Darimana sih? Kok bisa ketemu disini?" Aku heran dengan kemunculannya seolah olah kami sudah membuat janji untuk bertemu disini. "Lah aku kan tiap pulang kerja lewat jalan ini, tadi pas banget ngeliat kamu. Langsung mampir deh," Ku pandangi wajah sahabatku yang satu ini, aku sadar belakangan ini aku mencoba menghindarinya. Padahal biasanya kami mencuri curi waktu di tengah kesibukan kami tiap harinya untuk saling bertemu bersama sahabatku yang lainnya. Karena bersama mereka sudah seperti pulang ke rumah untuk beristirahat. Aku merindukannya, tawanya, cerita ceritanya tapi tidak lelucon konyol perjodohannya. Aku merasa heran dalam bulan terakhir ini mereka selalu berupaya menjodohkanku dengan bermacam macam kriteria laki laki. Berulang kali aku menjelaskan aku belum membutuhkan sosok kekasih lagi, aku mengerti mereka hanyalah ingin aku bahagia. Tapi bahagia tidak harus punya kekasih. Bertahun tahun aku tak punya kekasih bukan berati aku manusia yang sangat mencintai dirinya sendiri, itu istilah dari mereka ketika aku menolak calon calon jodoh yang mereka tawarkan, tapi aku hanya merasa ini belum saatnya. Aku selalu membayangkan kebebasan yang terenggut oleh komitmen sepasang kekasih setiap melihat laki laki yang bermaksud mendekatiku. Sederhana kesimpulannya, aku belum jatuh cinta. Karena menurutku cinta artinya rela. Rela waktunya terbuang bersama kekasih, rela uangnya dipakai untuk kencan, rela dan rela segalanya. Dan sekarang aku belum memiliki kerelaan itu. Kami beranjak dari taman untuk pergi mencari makan, dulu aku tak masalah jika sahabatku mengajak bergabung dengan teman temannya yang lain. Menurutku itu menyenangkan, itulah salah satu alasan kenapa mereka menyebutku ekstrovert. Tapi tidak untuk sekarang, aku waspada jika ini hanyalah triknya untuk menjodohkan aku lagi. Benar saja dugaanku, di tengah kami sedang makan ia selalu bercerita tentang temannya yang akan menyusul kami kesini. Aku sudah hapal jurusnya ini, dia laki laki baik lah, tampan lah, keren lah, mapan lah dan banyak lagi kata kata pujian terlahir dari mulut manis sahabatku satu ini. "Pdkt aja dulu, siapa tau yang ini cocok! Biar kamu gak bakal jadi obat nyamuk lagi kalo kita kita ngumpul bawa pacar masing masing" "Aku lagi males banget pdkt. Aku mau nyari cowok yang mau langsung pacaran sama aku aja," aku tertawa terbahak bahak setelah menanggapi leluconnya. " Aku mau kok langsung pacaran ! Gimana?" Aku langsung menoleh ke arah suara yang menyahut perkataanku. Sahabatku langsung menyuruhnya duduk di hadapan kami. Itulah temannya yang ingin diperkenalkan denganku. Aku menyambut jabatan tangannya. "Jadi sekarang kita pacaran kan?" Aku terpaku bukan karena pertanyaannya barusan ataupun karena terpana melihat wajahnya yang tampan. Aku masih menjabat tangannya bahkan aku tak mendengar suara di sekitarku lagi. Aku hanyut dalam penghilatanku. Bukan sosoknya yang sekarang, ini terlihat seperti ingatan dalam kenangan. Aku tidak mengerti ini, aku melihat dia tertawa kepadaku. Tawa yang selalu ingin ku lihat. Apakah aku sedang menonton drama yang ku perankan sendiri bersamanya, aku melihat kami berdua sedang tertawa dengan memakai pakaian seperti di kisah kisah kolosal. Aku juga melihat ia menggandengku di tengah acara, seperti pesta di zaman ratusan tahun sebelum ini. Aku melihat nuansa klasik di pesta itu. Gambaran aku menangisi tubuhnya yang berlumuran darah di tengah hutan membuatku meneteskan air mata. Rasanya kesedihan ini tak asing bagiku. Aku tidak percaya istilah reinkarnasi, aku juga tidak mengerti apa itu belahan jiwa. Namun saat ini sebelum aku tahu namanya bahkan mungkin sebelum aku terlahir di dunia ini aku sudah sepakat dia lah kekasihku. Iqy 20/2/2016
Haloo salam blogger !
Pertama kali ngeblog saya mau menulis tentang salah satu desa terpencil d provinsi saya. Sebelumnya saya mau ngasih tau dulu kalau saya tinggal di kota Banjarmasin, tepatnya ibu kota provinsi Kalimantan Selatan. Nah mengenai desa terpencil yang saya maksud adalah desa Sungai Bakau, pertama kali saya mendengar nama desa ini saat saya ditugaskan penelitian karena selain menjadi mahasiswa terkadang saya juga mengambil pekerjaan sambilan membantu berbagai lembaga untuk penelitian. Saat itu saya benar benar tidak tahu dimana letak desa ini. Malu juga rasanya orang asli Kalimantan Selatan tapi tidak tahu seluk beluk provinsinya sendiri.
Tapi ternyata tidak hanya saya yang tidak mengenal dengan provinsi sendiri, hampir semua teman teman saya juga tidak tahu dimana sebenarnya desa Sungai Bakau. Padahal saat itu saya harus berangkat ke desa Sungai Bakau untuk penelitian. Saya mencoba searching di google ternyata desa Sungai Bakau adalah desa yang ada di Kecamatan Kurau yang termasuk wilayah Kabupaten Tanah Laut.
Dengan berbekal sedikit informasi tentang desa Sungai Bakau, keesokan harinya berangkatlah saya ditemani teman saya menuju ke lokasi. Ternyata sangat berbeda dari perkiraan saya, menuju desa Sungai Bakau sangatlah jauh. Hari pertama saya sampai disana saya hanya bersinggah ke rumah paling depan yang ada disana untuk sekedar bertanya tanya. Karena niat saya hari itu memang hanya menyurvey letak lokasi saja dan besok baru saya datang lagi sendirian untuk bekerja.
Kesan pertama saya tentang desa Sungai Bakau kurang menyenangkan karena selain lokasinya sangat jauh dari kota, sepi, infrastruktur jalannya juga tidak bisa dikatakan mulus. Tanah merah dan bebatuan besar menyapa motor saya disepanjang jalan.
Namun setelah saya perhatikan alam di desa Sungai Bakau itu indah, saya masuk lebih ke dalam desa. Irigasi yang airnya sangat jernih terlihat jelas saat saya melintasi jalan di desa. Tapi ada pemandangan yang membuat saya terpana namun sayang sekali saya lupa menanyakan apa itu dengan penduduk desa jadi sampai sekarang saya tidak tahu apa lebih jelasnya yang saya telah lihat. Baiklah saya akan mencoba jelaskan gambaran pemandangan aneh dan menakjubkan yang pernah saya lihat itu. Tidak seperti sungai lainnya diatasnya tersusun entah apa itu tapi sepertinya batang pohon yang tertanam di sungai namun sudah keropos banyak sekali berjejer memenuhi sungai. Warna sungai coklat pekat dan menampilkan siluet dari masing masing barisan batang pohon yang ada diatasnya. Sayang sekali saya tidak punya dokumentasinya. Namun pemandangan keindahan irigasi di sana sempat saya abadikan.
Selain takjub dengan kondisi alam disana saya juga terkesima dengan keramahan masyarakat desa. Senang sekali berkenalan dengan mereka, sungguh mengharukan mengingat kenangan disana. Meskipun jauh dari fasilitas hidup yang layak dan tingkat pendidikan yang sangat rendah karena rata rata masyarakat disana hanyalah lulusan sekolah dasar namun mereka memiliki hati yang luar biasa. Dengan senang hati mereka selalu membantu saya saat disana. Berbeda dengan masyarakat kota yang cendrung apatis, masyarakat disana sangat peduli dengan satu sama lain. Untuk masalah penginapan pun mereka menawarkan kediaman mereka masing masing tanpa harus saya bayar.
Mereka seperti keluarga jauh yang baru saya temui, sangat cepat mereka menerima saya dilingkungan mereka. Tapi selalu ada kesedihan yang terselip dibalik kegembiraan yang mereka berikan untuk saya. Bagaimana saya tidak sedih, meskipun saya sempat terhipnotis dengan indahnya sawah sawah yang subur di sana, gembiranya melihat gemuknya sapi sapi yang mereka miliki namun itu sama sekali tidak bisa disebut mereka masyarakat yang kaya. Karena infrastruktur yang tidak memadai mengakibatkan mereka menjadi petani dan nelayan yang bekerja masih menggunakan metode seperti era tahun 90-an. Tentu saja itu semua menjadikan pertumbuhan ekonomi desa mereka tertinggal jauh dibanding wilayah lain, apalagi dengan mulainya berlaku kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) apalah daya mereka untuk bersaing. Bahkan saya yakin mengenai MEA pun pasti mereka tidak tahu sama sekali, karena saat saya bertanya tentang nama nama pemimpin di provinsi kami saja mereka tidak mengenal, koran pun tidak didistribusikan di desa mereka bahkan masih banyak diantara mereka yang masih buta huruf. Miris rasanya di saat pemerintah di kabupaten mereka berlindung di dalam mobil dinasnya pulang pergi kerja, tapi rakyat yang seharusnya menjadi majikan mereka sedang bersusah payah menjalani kerasnya kehidupan. Bahkan saya sangat terkejut melihat kenyataan masih ada diantara mereka yang makan hanya dengan nasi dicampur gula. Tinggal di rumah yang tidak dibangun permanen bahkan tidak memiliki toilet.
Begitulah keadaannya, meskipun air bersih susah didapat, gelapnya malam masih dirasakan mereka namun kebahagian menikmati hidup selalu jelas terlihat di raut wajah mereka.
Lelah yang seharusnya saya rasakan saat bekerja meneliti di desa mereka tidak terasa apa apa karena kebaikan hati mereka yang selalu membantu dan memberi kenyamanan untuk saya.
Tidak ada henti hentinya saya dikejutkan dengan alam dan keadaan di desa Sungai Bakau. Sampai pada hari terakhir pun saat saya berjalan ingin meneliti masyarakat yang bermukim diujung desa, saya dikejutkan dengan penampakan pantai. Benar benar tidak menyangka desa ini memiliki pantai, saya sampai berpikir jangan jangan masih ada lagi keindahan yang disembunyikan desa ini.
Tapi sayang sekali saya harus segera kembali ke kota Banjarmasin karena tugas saya sudah selesai, banyak penyesalan yang saya rasakan saat meninggalkan desa Sungai Bakau. Salah satunya saya menyesal tidak membawakan apapun dari Banjarmasin untuk kenang kenangan bagi masyarakat desa. Padahal mereka sudah sangat banyak memberikan yang saya butuhkan selama disana. Saya juga menyesal tidak banyak mengabadikan keindahan alam disana, bahkan saya tidak sempat mengambil potret dari kegiatan mereka disana karena harus segera menyelesaikan penelitian.